Ada perbedaan antara sistem kalender yang diusung Sunan Giri II dan Sultan Agung. Yumna dan Ahmad mencatat, kalender Jawa Sunan Giri II diatur dari kurup (siklus setiap 120 tahun) dan nêptu (hitungan awal hari pasaran) untuk menentukan hari pertama Mukharam (Muharram).
Perhitungannya masih menggunakan bahasa Arab dalam kalender Hijriah, berbeda dengan Sultan Agung yang sudah menyeusaikan dengan bahasa Jawa.
Lebih lanjut, gagasan nêptu, oleh Ranggawarsita, hanya sebagai perhitungan awal tanda masuknya bulan. Sementara, Sultan Agung memberikan nilai pada suatu waktu, seperti hari atau watak yang baik.
Perbedaan lainnya terletak pada fungsi. Kalender Jawa dari Sunan Giri II, karena lebih menekankan unsur Islam, berfungsi untuk penentuan waktu beribadah. Sultan Agung tampaknya mengoreksi sistem kalender ini yang ditentukan nilainya.
Fungsi kalender Sultan Agung pun menyesuaikan tradisi agama dalam keraton Kesultanan Mataram. Meski penguasanya beragama Islam, kalender ini menyesuaikan agar masyarakat yang mempertahankan adat istiadatnya menyamakan hari perayaannya, speerti grebeg maulud dan sedekah laut atau gunung.
Malam Satu Suro
Seperti Hijriah, kalender Jawa menentukan batas peralihan hari pada terbenamnya matahari. Dengan pergantian tahun, malam satu Suro sarat dengan spiritualitas dan filosofis Jawa dan Islam. Sultan Agung, sebagai pemberi makna di dalam harian kalender, punya beberapa kebiasaan yang diikuti masyarakat Jawa hari ini.
Sampai hari ini, Keraton Yogyakarta dan Surakarta mempertahankan tradisi keliling benteng yang sudah ada sejak periode Mataram. Awalnya, tradisi ini hanya dilakukan oleh abdi dalem, hingga belakangan turut melibatkan masyarakat.
Setiap tempat punya tradisi malam satu Suro yang berbeda-beda, namun menekankan keheningan dan instropeksi diri. Oleh karenanya, anjurannya adalah untuk menghindari kegiatan yang dianggap buruk seperti hura-hura, keluar rumah, menggelar hajatan, atau bertengkar.
Keheningan ini jadi keharusan bagi masyarakat yang memertahankan nilai-nilai Jawa. Pasalnya, malam tersebut punya nilai kosmologis di mana batasan alam gaib dan alam manusia sangat tipis.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR