Nationalgeographic.co.id—Setiap kali kita keramas, kita mungkin tidak menyadari bahwa air sisa bilasan membawa lebih dari sekadar busa.
Bahan kimia berantai panjang dari sampo dan sabun, khususnya polimer kondisioner, berakhir di sungai dan danau, menempel pada tubuh hewan air kecil dan mengancam kehidupan akuatik.
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Hans Sanderson dari Aarhus University telah menyelidiki dampak ini, berfokus pada polyquaternium, jenis kondisioner yang membuat rambut terasa halus.
Rahasia Rambut Halus dan Dampak Tak Terduga
Rambut secara alami memiliki muatan negatif, dan rambut yang rusak bahkan memiliki lebih banyak muatan. Untuk mengatasi rambut kusut, produsen menambahkan polimer bermuatan positif ke dalam sampo. Molekul-molekul panjang ini melilit setiap helai rambut, menetralkan listrik statis, dan menghasilkan tampilan yang rapi.
Polyquaternium, salah satu kelompok sub-paling umum dari polimer ini, memiliki lebih dari 25.000 variasi. Pasar untuk bahan kimia ini diperkirakan mencapai AS$0,12 miliar pada tahun 2024 dan diproyeksikan akan terus tumbuh stabil selama dekade berikutnya.
Sebelumnya, uji toksikologi berasumsi bahwa molekul-molekul besar ini tidak berbahaya bagi satwa liar karena tidak dapat menembus membran sel. Namun, tim Sanderson mengajukan pertanyaan penting: bagaimana jika menempel di bagian luar makhluk air sama berbahayanya?
Sampo Membahayakan Hewan Air Kecil yang Vital
Kolam dan danau air tawar adalah rumah bagi daphnia, krustasea kecil yang juga dikenal sebagai kutu air. Hewan-hewan ini sangat penting bagi ekosistem air tawar; mereka menyaring alga dan bakteri, memurnikan air, dan menjadi sumber makanan utama bagi banyak ikan kecil. Daphnia bergerak menggunakan antena mereka, dan hambatan apa pun dapat memperlambat mereka.
Eksperimen yang dilakukan oleh tim Aarhus menunjukkan bahwa lapisan polimer kondisioner menempel pada cangkang daphnia. Ini secara signifikan mengurangi kecepatan berenang mereka hingga setengahnya dan menghambat kemampuan mereka untuk makan.
"Kami telah melakukan penelitian pertama di dunia untuk menyelidiki ini," jelas Sanderson, seperti dilansir Earth.com. "Zat-zat tersebut tidak menembus sel hewan, melainkan menempel di permukaan hewan. Ini secara fisik memengaruhi hewan, membuatnya tidak dapat bergerak dengan baik, dan menghambat kemampuannya untuk mencerna makanan."
Baca Juga: Sustainability: Inovasi Penanganan Limbah Plastik Indonesia dengan Teknologi Radiasi
KOMENTAR