Foto yang dipegang wanita muda ini tidak sampai sebesar prangko. Namun, itulah satu-satunya foto suaminya yang berhasil ditemukannya di rumah orang tuanya. Ayah dan ibunya tidak menyetujui pernikahannya, mengingat suaminya hanyalah seorang nelayan dari kota pesisir Mannar, sementara keluarganya telah tinggal di Jaffna, ibu kota Northern—sebuah provinsi di Srilangka. Namun, seperti yang terlihat dalam foto itu, suaminya, seorang Tamil seperti dirinya—tampak sehat dan percaya diri. Sambil menatap foto mungil sosok yang hilang satu dekade silam itu, matanya yang cokelat tampak berbinar saat dia hanyut dalam kenangan.
Dia dan suaminya saling jatuh cinta di sebuah kamp pengungsi di India selatan pada 1999, ketika usianya 17 tahun. Keduanya berhasil menyelamatkan diri dari keganasan perang saudara Srilangka, antara tentara yang dikendalikan mayoritas Sinhala melawan pemberontak Tamil. Dia melarikan diri dari Jaffna bersama keluarganya, melompati mayat para tetangga, saat bom berjatuhan dari langit. Suaminya melarikan diri dari Mannar setelah melihat seorang perwira tentara menembak mati adik wanita bungsunya di rumah mereka. Keduanya menikah di bawah tatapan mata ibunya yang sendu.
Mereka kembali ke Mannar pada 2002, dan suaminya mencari nafkah sebagai nelayan. Mereka memiliki seorang putra, kemudian seorang putri. Untuk menambah penghasilannya yang pas-pasan, suaminya berjualan tabung bensin, yang dijualnya ke para pemberontak Tamil. Menurut wanita itu, risiko pekerjaan ini kecil, dan lazim dilakukan kaum pria Tamil di Mannar. Suatu saat suaminya berkata, “Jika sesuatu terjadi pada diri saya, jangan berusaha mencari saya—kamu harus kembali kepada ibumu.” Sesuatu itu benar-benar terjadi pada 27 Desember 2006, ketika suaminya mengendarai sepeda motor dan tidak kembali malam itu, maupun hari-hari berikutnya.
Sang istri nelayan meletakkan foto suaminya, lalu kembali memasak bersama sejumlah wanita lain di rumah reyot yang cahaya lampunya redup itu. Hari ini, keluarganya berkumpul untuk mengenang kematian mendadak ibunya akibat kanker lambung sebulan yang lalu. Seorang saudara laki-lakinya tidak dapat hadir. Dia tinggal di Paris, secara ilegal dan tidak punya pekerjaan. Militer Srilangka pernah menyiksanya, dan jika pulang, dia khawatir diciduk di jalanan, seperti yang dialami si nelayan, seperti yang dialami ribuan pria Tamil. Tanpa peringatan, pembenaran, surat dakwaan, atau bahkan pengakuan resmi pemerintah.
Entah bagaimana, wanita berusia 34 tahun dengan rambut dikepang sepinggang yang berayun-ayun saat dia menyajikan makanan tradisional vegetarian yang beraneka ragam—buncis, terong, kacang-kacangan, tapioka. Ia tidak larut dalam duka. “Saya tahu suami saya masih hidup,” katanya. Istri nelayan itu—yang meminta identitasnya tidak diungkapkan karena mencemaskan keselamatan dirinya dan keluarganya—yakin suaminya masih menjadi tahanan tak dikenal dalam perang yang sudah berakhir tujuh tahun yang lalu.
Srilangka seakan sudah hilang dari peta dunia. Srilangka pernah muncul sebagai kekuatan Asia Selatan, tetapi negara pulau itu menyia-nyiakan kesempatan untuk dihormati dunia internasional ketika terperosok ke dalam perang saudara yang dikobarkan oleh perseteruan antar-etnik yang berlarut-larut. Sekarang, dengan pemerintah baru yang berjanji untuk menyatukan negara, kesempatan itu muncul lagi. April ini, Samantha Power, Duta Besar AS untuk PBB, memuji pemerintahan yang dipimpin Presiden Maithripala Sirisena atas “kemajuan luar biasa” dalam upaya menuju “perdamaian yang kokoh, demokrasi yang adil, hubungan baru dengan dunia internasional, dan kesempatan yang luas bagi semua orang.”
Namun, bukan Power atau pejabat asing lainnya yang perlu diyakinkan oleh pemerintah. Hal yang jauh lebih penting adalah minoritas Tamil yang tidak ikut merasakan manfaat kemajuan pascaperang yang dialami negara itu, dan semakin terluka karena mayoritas Sinhala tidak peduli pada nasib mereka. Inilah yang dirasakan wanita muda pemilik foto kecil itu. Pada kenyataannya, Srilangka tidak akan sepenuhnya stabil dan kembali dihormati dunia, jika orang-orang seperti suaminya masih tetap belum jelas nasibnya.
Dari Jaffna, pada jarak dua pertiga ke arah selatan pantai barat pulau berbentuk tetesan air mata ini, terletak Kolombo, ibu kota Srilangka. Kolombo adalah kota metropolitan yang tertib dan sibuk. Tidak tampak tanda bahwa kota ini pernah dilanda perang. Penduduk kota yang jumlahnya sekitar 700.000 orang ini bisa dikatakan terbagi rata antara Sinhala Buddha, Tamil Hindu, dan warga Muslim, yang hidup dengan damai. Kerusuhan muncul sesekali saja. Bagi mereka yang datang ke Srilangka dengan penuh keraguan tentang masa depan negara itu, Kolombo menawarkan jawaban meyakinkan.
Kota ini secara mengejutkan tampak tenang pada malam 8 Januari 2015, ketika Srilangka mencengangkan dunia dengan menyingkirkan rezim otokratis Mahinda Rajapaksa melalui pemilihan umum yang berlangsung damai dan tanpa cela. Sejak hari yang menentukan itu, para pemimpin baru negara tersebut begitu bersemangat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Srilangka dapat berperilaku seperti negara demokrasi modern. Pemerintahan Sirisena mulai mereformasi sistem peradilan yang korup, melakukan privatisasi lembaga negara yang tidak efisien, dan berusaha menata kembali utang besar akibat kontrak infrastruktur meragukan, yang diberikan kepada sejumlah perusahaan Tiongkok. Kata Harsha de Silva, Wakil Menteri Luar Negeri, “kami ingin dunia tahu bahwa kami berbeda—bahwa kami akan melakukan hal-hal yang kami janjikan akan kami lakukan.”
“Kami ingin dunia tahu bahwa kami kini berbeda—kami akan melakukan apa yang pernah kami janjikan.” Harsha de Silva, wakil menteri luar negeri
Sangat mungkin bagi para wisatawan untuk terbang ke Kolombo, mengunjungi kuil kuno di Dambulla dan Polonnaruwa, gajah dan macan tutul di taman margasatwa, perkebunan teh yang subur, surga selancar di Teluk Arugam—tanpa menyadari sedikit pun bahwa selama 26 tahun Srilangka adalah pusat pertumpahan darah etnik yang mengerikan. Kolombo berlokasi di selatan—wilayah yang didominasi oleh etnik Sinhala, yang sebagian besar penganut Buddha dan mencakup sekitar 75 persen populasi negara itu. Hampir semua tujuan wisata utama negara juga terkonsentrasi di selatan. Sebaliknya, Northern secara visual biasa-biasa saja, pada umumnya berupa ladang pertanian yang gersang. Tempat itu juga merupakan kampung halaman Tamil Srilangka, yang sebagian besar beragama Hindu dan mencakup sekitar 11 persen populasi.
Wilayah utara dan timur dikuasai kaum militan Macan Pembebasan Tamil Eelam (Eelam adalah nama Tamil untuk Srilangka) yang mendirikan negara de facto sebelum akhirnya hancur.
“Ini sejarah tentang kesempatan yang hilang,” kata pejabat terkuat nomor dua dalam pemerintahan Srilangka, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe.
Hal yang dimaksudkannya adalah potensi ekonomi negara, yang belum terwujud. Karena Srilangka secara geografis terletak di kawasan persimpangan perdagangan sibuk antara Tiongkok dan India, serta memiliki lahan subur dan rakyat berpendidikan, negara ini siap bersaing dengan Singapura untuk menggantikan Jepang yang industrinya lumpuh untuk sementara setelah Perang Dunia II.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR