Probolinggo, kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan Selat Madura, mendapat julukan sebagai Kota Seribu Taman. Gelar ini mereka raih dengan berkat gerakan massal melibatkan masyarakat dalam penghijauan kota seperti aksi tamanisasi.
Aksi ini merangkul LSM, partai politik, ormas, yang setiap tahunnya menanam pohon pada ruang/lahan kosong yang memang disediakan khusus. Dikatakan Walikota Probolinggo HM Buchori, berbagai kegiatan hijau diadakan sehingga masyarakat menjadi peka akan permasalahan lingkungan.
Lain lagi dengan yang dilakukan oleh Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta. Mahasiswa dan dosen perguruan tinggi ini mensosialisasikan kepada masyarakat sekitar bagaimana mengelola bangunan yang ramah lingkungan.
Aksi ini menunjukkan betapa gerakan massal mampu jadi roda utama penggerak gaya hidup hijau. "Kita perlu mendorong berbagai pihak untuk giat mengembangkan pola pikir dan perilaku yang berorientasi pada penyelamatan lingkungan. Agar hijau menjadi way of life,” kata La Tofi, Chairman The La Tofi School of CSR.
Aksi warga Probolinggo dan UBM membuat keduanya diganjar penghargaan dalam ajang Indonesia Green Award 2012, Selasa (10/7). Bertempat di Hotel Kempinski, Probolinggo masuk dalam kategori Green City bersama Blitar, Kutai Barat, dan Surakarta.
Sedangkan UBM, disematkan dalam kategori Green Campus karena telah mengembangkan gaya hidup ramah lingkungan. Tiga universitas lain juga masuk dalam kategori ini. Antara lain Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,dan Universitas Surabaya.
Selain dua kategori di atas, diapresiasi pula bagi green manufacture, mining, agro industry, forestry, banking, telecommunication, hotel, hospital, school, dan local hero.
Menurut Guru Besar Manajemen Lingkungan ITB Surna Tjahja Djajadiningrat, Indonesia harus mampu mengimplentasi paradigma "ekonomi hijau". Bukan saja mengenai masalah lingkungan, tapi juga pertumbuhan ekonomi berkeadilan, sumber daya efisien, dan menghindari pencemaran lingkungan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR