Di kaki langit, terlihat armada perahu kecil buatan tangan yang disebut kabang. Semuanya tampak seperti halusinasi di bawah mentari yang tenggelam. Mereka menaruh curiga terhadap orang asing. Saat didekati, mereka memisahkan diri dan berpencar. Lewat teriakan dalam bahasa mereka, perahu itu mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti, tertahan berputar dalam kesunyian yang dalam.
Dunia itu milik orang Moken, orang Austronesia dengan budaya hidup berpindah-pindah di lautan. Mereka diduga datang dari Cina selatan sekitar 4.000 tahun silam. Berpindah melalui Malaysia, akhirnya terpisah dari kelompok migran lain pada akhir abad 17.
Mereka tinggal di Kepulauan Mergui, terdiri dari sekitar 800 pulau, tersebar sejauh 400 kilometer di laut Andaman, lepas Myanmar (dulu Burma). Selama puluhan tahun, bajak laut dan diktaktor militer Myanmar tak mengijinkan orang luar mendekat.
Habiskan Hidup di Laut
“Orang Moken lahir, hidup dan mati di atas perahu mereka, dan ari-ari anak mereka terkubur di dalam laut,” begitulah epos orang Moken. Dalam setahun, selama delapan sampai sembilan bulan, mereka tinggal di atas kabang yang tersandang rendah.
Menurut mitos, itu merupakan hukuman yang ditimpakan ke masyarakat oleh Sibian, seorang ratu nenek moyang di pulau itu, ketika Gaman, suaminya yang orang Melayu berzina dengan adik perempuannya. Sang ratu menyebutkan, kabang menggambarkan tubuh manusia. Bagian depan kapal sebagai mulutnya yang terus-menerus meminta makan dan bagian belakang adalah anus untuk mengeluarkan kotoran.
Sebagai penyelam dan penyisir pantai, orang Moken mengambil apa yang diperlukan setiap hari. Ikan, kerang-kerangan, cacing pasir disantap, sedangkan kerang, keong laut, dan tiram dibarter dengan kebanyakan pedagang Melayu dan Cina yang mereka jumpai. Mereka menimbun sedikit makanan dan hidup di darat hanya saat musim hujan badai.
Dieksploitasi Karena Tak Bermusuhan
Sebagai warga yang tak mengenal politik dan kekerasan, orang Moken bertahan hidup dalam kelompoknya sendiri. Terkecuali, jika sedang berdagang, biasanya dilakukan dalam armada yang terdiri dari tujuh atau lebih kabang yang dimiliki oleh satu keluarga besar.
Sepanjang sejarah, orang Moken telah dieksploitasi dan dilecehkan oleh orang Inggris, Jepang, Thailand dan juga Burma.
Mereka diminta berhenti untuk membayar pajak, diusir oleh nelayan ilegal, dipaksa untuk bekerja di pertambangan atau peternakan, dilarang masuk ke daerah perdagangan penting, dipenjara karena tak memiliki surat-surat ijin, bahkan dijadikan pecandu opium oleh para pedagang untuk membuat orang-orang itu tergantung pada mereka.
Belakangan, pemerintah Myanmar mengikuti langkah Thailand. Pemerintah telah mencoba untuk menempatkan orang Moken secara permanen di sebuah taman nasional sebagai obyek pariwisata.
Orang Moken menolak, namun ada ancaman yang memaksa mereka agar menetap. Belum lagi masalah demografi yang menghancurkan diri mereka sendiri: banyak lelaki muda meninggal setiap tahunnya dalam kecelakaan saat menyelam. Ini sering kali terjadi karena mereka kehilangan tekanan udara akibat menyelam terlalu dalam dan terlalu cepat naik ke permukaan saat bekerja untuk nelayan Burma.
(Artikel Gipsi Laut dari Myanmar oleh Jacques Ivanoff pernah diterbitkan dalam National Geographic Indonesia edisi April 2005)
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR