Nationalgeographic.co.id—Hosokawa Gracia, bernama lahir Akechi Tama. Dia adalah wanita bangsawan yang terpandang di Kekaisaran Jepang era shogun Sengoku akhir, putri ketiga dari Jenderal Akechi Mitsuhide (1528–1582).
Gracia, atau dalam dialek Jepang disebut Grasha, adalah salah satu dari bangsawan Kekaisaran Jepang yang masuk agama Katolik pada abad ke-16.
Johannes Laures dalam Two Japanese Christian Heroes menyebut bahwa Gracia awalnya suka berpindah agama sampai akhirnya memeluk Katolik. Kelak, dia berperan penting dalam sejarah keshogunan Edo dan kekristenan di Kekaisaran Jepang.
Akechi Tama lahir pada 1563. Ayahnya, Mitsuhide, merupakan kawan bagi Oda Nobunaga, daimyo yang kelak akan mempersatukan Jepang.
Pada usia sekitar 15 atau 16 tahun, Akechi Tama menikah dengan Hosokawa Tadaoki, samurai dan ketua klan Kumamoto-Hosokawa. Pernikahan itu diberkati dengan lahirnya lima (sumber lain mengatakan enam) orang anak.
Kehidupan Hosokawa Tama, nama setelah menikah, tidaklah mudah. Mitsuhide mengkhianati Oda Nobunaga. Dengan demikian Tama dicap sebagai "putri pengkhianat" yang harus disingkirkan. Jika tidak, dia bisa menimbulkan masalah bagi klan Hosokawa, namun Tama tetap setia kepada Oda.
Meski dicap mencemari klan Hosokawa, Tadaoki tidak ingin menceraikan Tama. Konon, apa pun yang terjadi, Tadaoki menghendaki Tama untuk tetap hidup. Itu sebabnya, ketika Mitsuhide tewas pada, Tama menolak melakukan seppuku (ritual bunuh diri) atas kepatuhannya kepada suami.
Tama akhirnya lari ke pengasingan di Semenanjung Tango, sekitar Kyoto hari ini. Di sana, dia di sana mengasingkan diri dari 1582 sampai 1584.
Osaka yang Runyam, Memeluk Katolik
Daimyo lainnya, Toyotomi Hideyoshi mengetahui Tama berada di pengasingan. Ketimbang menagih seppuku, Hideyoshi menyuruh Tama kembali bersama Tadaoki. Hanya saja, keduanya harus tinggal di Osaka. Mereka pun berdiam di rumah milik klan Hosokawa di sana.
Situasi di Osaka tidak mudah bagi Tama. Situasi mereka seperti menjadi tahanan rumahan. Tadaoki begitu ketat terhadap istrinya di rumah.
Baca Juga: Pertandingan Berdarah Serdadu Kekaisaran Jepang Demi Satu Wanita
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR