Nationalgeographic.co.id—Sekitar 2 miliar orang di dunia terancam menghadapi pola hujan yang kacau dan tak menentu akibat dampak perubahan iklim yang mendorong pergeseran zona konvergensi antartropis (ITCZ).
Ketidakseimbangan curah hujan ini dapat berdampak besar terhadap ketersediaan air, pertanian, dan kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah seperti Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan.
Jika pemanasan global berlanjut, perubahan ini bisa bersifat tidak dapat dipulihkan, kata para peneliti.
Saat ini, suhu rata-rata permukaan Bumi telah meningkat sekitar 1,2 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri. Dengan tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, prospek masa depan tampak semakin mengkhawatirkan.
Studi yang diterbitkan pada 14 Mei di jurnal Earth’s Future ini menyelidiki skenario saat suhu global naik menjadi 1,5 derajat celsius—bahkan jika hanya bertahan beberapa dekade.
Hasilnya menunjukkan bahwa lonjakan suhu global tersebut bisa secara permanen menggeser ITCZ, yakni wilayah di dekat ekuator tempat angin pasat dari belahan utara dan selatan bertemu.
“Dampak yang kami identifikasi dalam studi ini bersifat jangka panjang,” ujar penulis utama studi, Norman Steinert, peneliti senior perubahan iklim dari Center for International Climate Research di Norwegia.
Zona ITCZ sangat memengaruhi pola curah hujan global. Pergeserannya ke selatan akibat pemanasan global dapat mengubah panjang dan intensitas musim hujan maupun kemarau, khususnya di Afrika, Amazon, dan Asia Tenggara.
Ketidakseimbangan curah hujan—terlalu banyak di satu tempat dan terlalu sedikit di tempat lain—dapat berdampak buruk pada pertanian, ekosistem, dan ketersediaan air bersih bagi sebagian besar penduduk dunia.
Perubahan ini juga dipengaruhi oleh sistem arus laut besar yang dikenal sebagai Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC)—semacam “sabuk konveyor” raksasa samudra. Penelitian baru menunjukkan sistem ini kini sedang melemah, terutama akibat perubahan iklim.
Dalam studi ini, para peneliti menganalisis dua skenario menggunakan delapan model sistem Bumi. Salah satu skenario yang disebut "ideal" mensimulasikan peningkatan CO₂ atmosfer sebesar 1% per tahun selama 140 tahun, lalu menurunkannya kembali dengan laju yang sama selama 140 tahun berikutnya.
Baca Juga: Gen Alpha Menanggung Beban Krisis Terbesar Akibat Perubahan Iklim
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR