Nationalgeographic.co.id—Dari menghabisi nyawa jurnalis hingga menyuap politisi, Pablo Escobar dan Los Extraditables rela melakukan apa saja agar tidak dipenjara di Amerika Serikat. Apa saja yang dilakukan oleh si raja kokain dan geng yang dibentuknya itu?
Menjelang pukul 7 pagi pada tanggal 3 September 1989, kesunyian pagi hari di jalanan Bogota pecah. Sebuah truk yang diparkir di depan kantor pusat El Espectador, surat kabar tertua di negara itu, meledak dengan kekuatan yang mengerikan. Kendaraan itu membawa 100 kg bahan peledak. Ledakan yang dihasilkan, yang terasa hingga hampir 32 km jauhnya, meninggalkan kawah sedalam 3 meter di tengah kota.
Kantor pusat El Espectador hancur, mesin cetak rusak, dan jendela-jendela pecah. Kemudian pada hari itu, jaringan berita lain menerima panggilan dari para pelaku di balik pengeboman mematikan tersebut. “Pelakunya adalah Les Extraditables yang ditakuti,” tulis Gina Dimuro di laman All That’s Interesting.
Kelompok itu terdiri dari Pablo Escobar, Gonzalo Rodríguez Gacha, Fabio Ochoa Vásquez, dan para pemimpin kartel terkemuka lainnya di Kolombia. Los Extraditables telah mendeklarasikan “perang total” terhadap pemerintah Kolombia pada bulan Agustus 1989.
Kelompok teroris si raja kokain itu membuat pernyataan: “Kami lebih suka kuburan di Kolombia daripada penjara di Amerika Serikat”. Geng yang ditakuti itu pun melancarkan kampanye intimidasi berdarah. Tujuannya adalah mengesahkan undang-undang yang akan mencegah ekstradisi para gembong narkoba ke Amerika Serikat.
Bagi geng itu, hukuman penjara di Kolombia berarti hukuman di balik jeruji besi di mana para pejabat dapat dengan disuap. Tidak hanya merasa nyaman, para narapidana juga dapat melanjutkan operasi ilegal mereka dari sel. Selain itu, hukuman penjara mereka kemungkinan akan jauh lebih singkat daripada hukuman penjara di Amerika Serikat.
Escobar sendiri pernah menjalani hukuman penjara di Kolombia pada tahun 1991. Saat itu ia membuat kesepakatan dengan pihak berwenang untuk menghabiskan 5 tahun di balik jeruji besi. Namun dengan satu syarat: penjara tersebut dibangun khusus di kota asalnya, Medellin. Kejadian ganjil ini secara gamblang mengungkap alasan mengapa banyak pengedar narkoba lebih memilih mati daripada menghadapi risiko ekstradisi.
Penjara yang dibangun untuk Escobar begitu mewah sehingga dijuluki “La Catedral”. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar penjara di Amerika tidak menyediakan jacuzzi dan bar lengkap untuk para narapidana. Tidak seperti di La Catedral. Namun, Escobar tidak tahan dikurung terlalu lama. Bahkan di lingkungan yang begitu mewah, si raja kokain itu berhasil melarikan diri hanya setelah setahun menjalani masa hukuman yang tidak terlalu berat.
Kartel Medellin tahu mereka tidak bisa mengharapkan perlakuan selembut itu di Amerika Serikat. Padahal, banyak anggota Kartel Medellin menghadapi tuduhan berbagai kejahatan. Mulai dari perdagangan narkoba hingga penculikan. Di luar negara asal mereka, para gembong narkoba ini tidak akan memiliki akses ke teman dan keluarga. Mereka bahkan tidak memiliki akses ke dana yang memungkinkan mereka untuk menyuap atau mengancam politisi dan sipir penjara.
Masyarakat Kolombia juga menyadari bahwa para pelaku pembunuhan dan perusakan ini pada dasarnya memiliki kekuasaan bebas di negara asal mereka. Karena itu, masyarakat Kolombia memulai serangan balasannya sendiri. Dipimpin oleh para jurnalis dan editor di El Espectador, orang-orang Kolombia ini menekan pemerintah untuk mengekstradisi para pemimpin kartel ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, para pemimpin kartel akan menghadapi keadilan yang sesungguhnya atas kejahatan mereka.
Surat kabar tersebut segera menjadi target prioritas bagi para pemimpin kartel yang mungkin akan diekstradisi. Sebelum pengeboman truk pada tahun 1989, salah satu editornya (yang memimpin kampanye ekstradisi) telah “dihabisi” secara brutal di tempat parkir gedung. Setidaknya tiga reporter pun turut menjadi korban.
Baca Juga: Jika Bukan Pablo Escobar si Raja Kokain, Siapa Otak di Balik Kartel Medellin?
Source | : | All Thats Interesting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR