Pengantar Kuratorial oleh Mikke Susanto
Visual Art Exhibition “Jazz Gunung Series 1 & 2: BROMO”, Jiwa Jawa Resort Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, 19 Juli – 19 Agustus 2025
Nationalgeographic.co.id—Dalam perhelatan musik jazz di Gunung Bromo 2025, hadirnya seni visual—mulai dari lukisan, grafis, patung, poster (film, animasi dan acara pertunjukan), desain grafis, desain interior, fotografi, hingga seni instalasi—tidak hanya menjadi pelengkap ruang, tetapi juga memperkaya pengalaman estetika para pengunjung. Pameran seni visual “Jazz Bromo Series 1” ini membuka berbagai cakrawala menarik.
Seni visual dalam konteks ini berfungsi sebagai hiburan alternatif yang memperluas horizon keindahan, menyandingkan irama visual dengan harmoni musikal dan dinginnya alam di pengunungan. Penikmat jazz tidak hanya dimanjakan telinga mereka, tetapi juga diajak merasakan resonansi visual yang menyatu dengan suasana magis pegunungan Bromo.
Sejumlah 40-an partisipan (dosen dan mahasiswa) mengikuti agenda ini. Mereka berasal dari tiga fakultas yang ada di ISI Yogyakarta. Pertama, ada nama perupa Lutse Lambert, Dwita Anja Asmara, Otok H., M. Sholahuddin, Dony Arsetyasnmoro, I Gede Arya Sucitra, Yoga Budi Wantoro berasal dari Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD).
Nama lainnya seperti Edial Rusli, Pamungkas, Ika Yulianti, Irwandi, M. Fajar Apriyanto, dan nama dosen lainnya bersama mahasiswa yang memproduksi karya fotografi, poster produk televisi, animasi, videografi beserta lainnya karya dosen dan mahasiswa Fakultas Seni Media Rekam (FSRM). Adapun 10-an poster acara seni pertunjukan adalah bagian dari dokumen atau arsip publikasi dan promosi atas kerja para dosen dan mahasiswa dari Fakultas Seni Pertunjukan (FSP). Mereka membawa kita pada sejumlah hal penting untuk dicermati lebih jauh.
Karya-karya yang disajikan dalam pameran ini menandai adanya improvisasi sebagai basis estetika. Kita tahu jazz dikenal dengan improvisasi—sebuah bentuk kebebasan yang sangat dekat dengan praktik kontemporer seni visual. Dalam konteks ini seni visual di alam terbuka, seperti di Gunung Bromo, bisa menjadi respons langsung terhadap lanskap, cuaca, dan atmosfer yang berubah-ubah, mirip dengan improvisasi dalam musik.
Tanda penting lainnya adalah adanya kesenyawaan ritme alam dan ritme visual. Gunung kita tahu, memiliki ritme alami: embusan angin, kabut yang naik-turun, cahaya yang bergerak, dan detak kehidupan flora-fauna. Ritme ini bisa direspon secara visual melalui instalasi site-specific, atau karya seni temporer. Visualisasi ritme ini menciptakan hubungan antara musikalitas alam dan struktur visual dalam karya seni, menyandingkan suara dan rupa. Ini saya rasa penting untuk disadari lebih lanjut.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR