Nationalgeographic.co.id—Hawa panas yang terkungkung dalam helm hitam, akhirnya tersingkap keluar. Setelah Rahmat Hidayatullah (29 tahun) melepas helm itu dari kepalanya, tampak peluh membasahi dahinya. Sisa debu jalanan membekas di wajahnya.
Siang itu, pada suatu hari di pertengahan Juni 2025, matahari Jakarta bersinar terik seperti biasa. Dan seperti pada hari-hari lainnya, debu jalanan, semburan asap knalpot, serta sengatan baskara telah menjadi santapan harian Rahmat. Begitu pula guyuran hujan ketika musim basah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Juni ini termasuk kemarau basah. Hujan masih kerap datang di antara terik-terik siang. Panas hujan bergantian menyambar tubuh Rahmat di jalan. Sejatinya, ada banyak yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, antara lain para pejuang nafkah di jalanan seperti Rahmat.
Rahmat mengelap keringatnya. Ia menyandarkan sepeda motor matiknya di area parkir di depan sebuah gedung perkantoran di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat. Dengan cekatan, ia mengambil beberapa sisa paket dokumen dari bagasi motornya dan kemudian mengantarkannya ke dalam gedung tersebut.
“Kalau ke gedung ini biasanya paket yang saya antar itu surat atau dokumen,” tutur pria berkumis dan berjenggot itu. Sementara untuk jenis paket yang lazim ia antarkan ke wilayah permukiman adalah barang-barang hasil belanja daring.
Dalam sehari, Rahmat mengaku biasa mengantarkan 150 hingga 200 paket. Wilayah pengantarannya adalah kawasan Petamburan dan Palmerah. Ia biasa datang ke kantornya di Bendungan Hilir sejak pukul 6 pagi untuk menyortir paket dan kemudian mengantarkannya hingga siang hari, sebelum kembali lagi ke kantor untuk mengambil paket lainnya dan mengantarkannya hingga malam hari.
Biasanya ia pulang ke rumah saat magrib. Ia pantang beristirahat saat tengah hari di rumahnya, di wilayah Petamburan, selama paket tanggungannya belum selesai ia antarkan. “Takutnya nanti malah males keluar lagi,” katanya.
Prinsipnya, segala tugas harus ia kerjakan secara sat set agar bisa cepat rampung dan ia bisa lekas pulang ke rumah untuk berkumpul bersama keluarga. Namun, kadang kala, jika hujan deras mendominasi cuaca pada hari itu, jam kerja Rahmat bisa molor juga sampai pukul 10 atau bahkan 11 malam. “Kita harus ngalah sama cuaca, ketimbang paket-paket kita rusak,” ujarnya.
“Alhamdulillah, untuk masalah paket, kita tidak pernah hilang, tidak pernah rusak, ya,” tutur pria murah senyum itu. “Cuma yang pernah saya alami, motor saya sendiri yang hilang ketika nganter di Apartemen GP Plaza. Itu paket udah turun (diantarkan) semua. Itu belum sampai lima menit kita tinggalin motor di luar apartemen, motor sudah enggak ada. Itu pengalaman yang benar-benar membuat saya down.”
Meski sedih, Rahmat segara bangkit dari rasa kehilangannya. Ia meminjam sepeda motor orang tuanya agar bisa terus mengantarkan paket. Dan berselang enam bulan kemudian, ia membeli sepeda motor sendiri demi menopang pekerjaan hariannya secara berkelanjutan.
Dari Pembawa Ketakutan menjadi Pengantar Kebahagiaan
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR