Suatu siang, di akhir minggu di awal musim panas. Waktu yang tepat untuk mendapati Ghent, Belgia, di puncak musim pelancongannya, sekaligus waktu yang kurang tepat untuk mencari parkir mobil.
Setelah berputar beberapa kali, akhirnya ada sebuah tempat kosong—berjarak lebih dari setengah kilometer dari kawasan kota tua Ghent, tujuan saya bersama kedua buah hati, Dinda dan Atma. Sambil mencari-cari jalan yang agak rata—upaya yang agak mustahil karena jalan di kota tua bukan aspal, melainkan batu tertata.
Ghent merupakan bagian dari wilayah Flanders (kawasan Belgia di mana masyarakatnya sehari-hari berbahasa Flams, dekat dengan budaya Belanda), jadi tidak aneh kalau pengelolaan drainase dengan model kanal-kanal juga mendominasi, seperti Belanda. Kami memutuskan mencoba menikmati Ghent dengan menaiki perahu. Keputusan yang tepat. Menelusuri kanalnya, kami seakan dibawa pada era di mana kanal-kanal ini menjadi alat perhubungan utama.
Pertama-tama, kami menikmati bangunan sepanjang Graslei, lalu berlanjut ke arah Kastil Gravensteen, kemudian mengarah ke barat hingga berujung di Rabbot—sebuah bangunan mirip benteng kembar yang menjadi kenangan pertempuran tahun 1488. Ketika itu, Maximilian dari Austria menyerang dari titik lemah pertahanan Ghent untuk merebut kota.
Serangan ini gagal, walau pasukannya telah melakukan 40 hari pengepungan. Otoritas Ghent menggunakan kesempatan untuk memperkuat pertahanan dengan menara benteng kembar alias Rabbot ini.
Setelah menyaksikan kota tua Ghent dari permukaan air, ingin rasanya melihat-lihat bagian dalam salah satu bangunan bersejarah itu. Kastil Grevensteen yang berarti kediaman para adipati menjadi pilihan. Kastil batu yang asalnya terbuat dari kayu pada abad 9 dan berganti menjadi batu pada abad 12 ini nyaris dirobohkan pada akhir abad 19. Beruntung, pemerintah kota memutuskan untuk membeli dan membangunnya kembali.
Kini kastil ini menjadi salah satu atraksi kunjungan utama di wilayah kota bersejarah di Ghent. Pintu-pintu kayu yang tebal, dinding-dinding batu bahkan sampai penjara bawah tanahnya dibangun kembali atau direkonstruksi seperti kondisi awal berdirinya.
Sungguh sebuah pekerjaan yang cukup detail, karena saat kami menginjakkan kaki ke dalam labirin ruang-ruang batu itu, terasa benar keaslian suasana zaman pertengahan seperti ketika kastil ini masih berfungsi. Suasananya terasa masif, dingin sekaligus kejam.
Melihat betapa kota sekecil Ghent dipenuhi oleh bangunan-bangunan pertahanan seperti kastil dan benteng serta konstruksi-konstruksi bangunan yang relatif kuat, sepertinya kota ini mengalami masa lalu cukup seru. Orang-orang Ghent sendiri mengakui bahwa mereka termasuk golongan orang-orang yang stubborn alias keras kepala.
Dari tahun 1000 sampai sekitar tahun 1550, Ghent adalah salah satu kota yang paling penting di Eropa. Lebih besar dari London, dan menempati posisi kedua terbesar setelah Paris.
Penduduk Ghent terkenal independen, bahkan mereka memberontak terhadap pangeran mereka sendiri, Charles V. Kali ini tindakan mereka terlalu jauh. Pasukan menyerbu dan Roeland Klokke, lonceng simbol kemerdekaan Ghent, diturunkan dari menara tempat lonceng bergantung. Harga diri mereka pun secara harfiah anjlok.
Beruntung, selama dua perang dunia, Ghent tidak menjadi ajang pertempuran besar. Ia hanya mengalami kerusakan kecil akibat pemboman. Warisan sejarah Ghent sebagian besar tetap utuh sampai sekarang.
*Artikel ini merupakan bagian dari 2 Musim di Ghent yang pernah terbit dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Mei 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR