Ni Wayan Arya Rahayu, si cantik berseragam Pramuka dengan gelang manik-manik jingga, memulai permainan ular ‘tangga raksasa’ di halaman sekolahnya. Sementara teman-temannya menanti giliran, dia menggulirkan dadu berukuran sekepalan tangan. Anak dadu menunjuk jumlah empat. Kemudian Arya melangkah ke kotak nomor empat dan membaca sebuah untaian kata.
“Setelah sarapan aku minum air sehat dan dibekali ibu dengan sebotol air minum,” ucapnya. Di kotak tersebut terdapat gambar gelembung-gelembung sabun yang mengantarkan langkah Arya ke kotak di baris atasnya. Lalu, Arya membaca keras-keras kalimat yang tertera, “Tiga cara mendapatkan air minum sehat: Merebus, klorisasi, dan sodis [solar disinfectant].”
Permainan tersebut merupakan bagian dari kampanye "Perilaku Hidup Bersih dan Sehat" (PHBS) di halaman sekolahnya dari pagi sampai jelang siang. Salah satu programnya adalah cuci tangan dengan sabun. Penyuluhan tersebut digelar oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Janma dan PT Tirta Investama pada Sabtu, 11 Oktober 2014.
Arya merupakan gadis siswa kelas empat di Sekolah Dasar Negeri 2 Belok, Banjar Jempanang, Kabupaten Badung. Sehamparan lembah, dalam ketinggian 1.022 meter di atas permukaan laut, di antara dua kaldera purba: Danau Batur dan Danau Beratan.
Pulau yang dihuni para dewata, dan kerap dijuluki surga terakhir di bumi, itu telah terjamah turisme, komersialisasi, modernisasi, dan pembangunan prasarana wisata sejak 1930-an. Hanya kawasan pedalaman—salah satunya seperti Jempanang—yang tampaknya masih menyimpan kearifan warga dalam mengelola dan menghormati alam. Setiap enam bulan sekali, mereka menggelar upacara yang dipersembahkan kepada alam. Masing-masing kepala keluarga, yang jumlahnya sekitar 170, wajib menanam satu pohon di tanah mereka.
Namun, tampaknya warga pedalaman tidak seberuntung saudara mereka di kawasan eksotis tujuan wisata. Alam menakdirkan Jempanang bukan penghasil beras dan salah satu desa adat yang kurang beruntung lantaran sulit mendapatkan air bersih.
Leluhur Arya di desa itu harus turun ke lembah untuk menemukan sumber air dan mengangkutnya dengan buli dengan berjalan kaki. Hingga kini, salah satu kearifaan warga Jempanang adalah memuliakan aliran air sungai. Mereka menggunakan sungai untuk mandi dan kebutuhan minum, memasak, dan cuci. Namun, mereka menyucikan sungai dari sampah maupun kotoran manusia.
Sejak 1970-an, keadaan sedikit membaik, lantaran warga berhasil mendapatkan air dari aliran sungai di atas bukit lewat ruas-ruas bambu yang dirangkai sambung-menyambung. Kemudian sekitar akhir 1980-an, bambu-bambu tersebut digantikan dengan sistem pipa bantuan pemerintah. Kamar mandi dan jamban mulai menjadi kebutuhan.
Sebelum ada program air bersih, umumnya warga membuang hajat besar di kebun bersenjatakan cangkul untuk menggali dan menguburkan ‘emas’ mereka. Awalnya terjadi gegar budaya tatkala warga harus mengubah kebiasaannya. Namun mereka berangsur-angsur menikmati hidup lebih bersih dengan membuang hajat di kamar mandi atau jamban di rumah masing-masing.
Generasi Arya tentunya tidak lagi bergaya hidup seperti kakek atau orang tua mereka. Kini, justru kakek dan orang tua mereka turut membudayakan teladan hidup bersih dengan mencuci tangan dengan sabun dan membuang hajat di jamban.
“Program PHBS ini tujuan utamanya untuk mengurangi angka masyarakat yang sakit yang berkaitan dengan akses air bersih, terutama diare,” ungkap Okta Fitrianos selaku WASH Project Officer dari PT Tirta Investama. Penyakit itu masih menjadi pembunuh anak-anak terbesar di dunia dan nomor empat di Indonesia, yang sangat berkaitan dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi.
Air bersih dan sanitasi adalah hal yang saling terkait, demikian hemat Okta, dan pihaknya telah merangkum ide tersebut dalam program WASH—Water Access and Sanitary Hygiene. Sejak Juli tahun ini warga Jempanan telah menikmati air yang dipompa dari aliran sungai di celah bukit menuju permukiman dengan menggunakan kincir tenaga hidrolik—tanpa listrik atau bahan bakar fosil.
“Ketika air bersih ada dan sarananya ada tetapi perilakunya tidak berubah itu artinya tidak ada perubahan,” ujarnya, “sehingga itu harus dilakukan dalam program yang saling melengkapi.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR