Nationalgeographic.co.id - Untuk mencari tahu penyebab adanya stres pada paus, para ahli dari Baylor University di Texas, AS, menggunakan metode unik.
Dalam laporan yang terbit dalam jurnal Nature Communications edisi 2 November 2018, para peneliti mempelajari kotoran telinga pada paus bungkuk dan paus biru yang hidup di samudra Atlantik antara tahun 1870 hingga 2016. Hal tersebut adalah studi pertama yang mengamati stres pada paus dari waktu ke waktu.
Baca Juga : Menyedihkan, Hampir 150 Paus Berjajar dan Mati di Pantai Selandia Baru
Kotoran telinga pada paus berasal dari earplug laminae, lapisan pertumbuhan yang ditemukan pada kotoran telinga paus. Peneliti mendapatkannya dari koleksi sebuah museum.
Dengan mempelajari lapisan tersebut, para ahli bisa memeriksa kadar kortisol atau hormon yang merespons stres pada paus. Peneliti kemudian mencocokkannya dengan berbagai momen terpenting dalam sejarah.
Menariknya, tingkat kortisol meningkat pesat pada tahun 1960-an, saat penangkapan paus mencapai puncaknya, yakni sekitar 150.000 ekor. Hal tersebut mewakili tingkat kortisol tertinggi yang ditemukan pada abad ke-20. Selain itu,tingkat stres yang tinggi juga ditemukan atau meningkat saat perburuan paus meningkat pada tahun 1920-an hingga 1930-an.
Selain penangkapan paus, meningkatnya kortisol pada paus juga disebabkan oleh Perang Dunia II. Walaupun penangkapan paus pada saat itu menurun, tetapi stres yang dialami paus kemungkinan dikarenakan oleh perang dunia II.
"Tingkat stres yang terkait dengan Perang Dunia II mungkin menggantikan stres karena perburuan paus secara massal. Kami menduga ledakan bawah laut, pertempuran kapal, kapal selam, dan peningkatan jumlah kapal yang berlalu lalang di laut selama Perang Dunia II berkontribusi pada peningkatan konsentrasi kortisol," ucap Dr Sascha Usenko salah satu rekan penulis dalam IFL Science.
Berlawanan dengan hal di atas, tingkat kortisol paus mencapai titik terendah pada pertengahan tahun 1970-an, yakni pada saat kegiatan penangkapan paus mengalami penurunan drastis. Bahkan belahan bumi utara dilaporkan tidak adanya kegiatan penangkapan paus.
Namun, sayanganya penurunan tingkat stres pada paus tidak dapat dipertahankan. Dengan semakin berkembangnya zaman dari hari ke hari, kadar kortisol justru semakin meningkat. Para ahli kemudian memperkirakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh manusia melalui peningkatan suhu pada permukaan laut.
Temuan dalam penelitian ini menjadi penting karena paus merupakan indikator dari kualitas lingkunan dan habitat yang baik di laut.
Baca Juga : Mars Memiliki Danau Purba yang Mirip Dengan Danau di Sulawesi Selatan
Studi tersebut juga mengamati seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh manusia kepada paus. Hal itu ditunjukkan dengan momen penting dalam sejarah manusia bukan hanya memengaruhi manusianya saja tetapi juga makhluk hidup yang lain.
"Lewat sampel kotoran telinga yang dikumpulkan selama 150 tahun, kita dapat melihat bagaimana paus mengalami stres yang disebabkan oleh penangkapan paus, kebisingan kapal, dan ulah kita. Semuanya ini ternyata meningkatkan hormon stres pada paus," ucap Dr Stephen Trumble.