Desa Wisata Kasongan, Desa dengan Sejuta Gerabah di Bantul

By Gregorius Bhisma Adinaya, Jumat, 7 Desember 2018 | 10:45 WIB
Ratusan pengusaha gerabah tersebar di Desa Kasongan. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Rasanya tidak ada yang tidak mengenal Yogyakarta, kota dengan pilihan destinasi wisata yang melimpah. Wisata kuliner hingga budaya tersedia banyak di kota yang menyandang predikat Daerah Istimewa ini.

"Di persimpangan langkahku terhenti. Ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera. Orang duduk bersila."

Begitulah Katon Bagaskara, vokalis Kla Project menggambarkan bagaimana Yogyakarta begitu memikat dalam lagu berjudul sama dengan nama kota tersebut.

Yogyakarta pun tumbuh menjadi kota yang semakin besar. Berbagai destinasi wisata modern pun mulai menjamur. Istimewanya, destinasi wisata terkait seni yang tidak berlokasi di tengah kota pun tetap bertahan dan berkembang.

Baca Juga : Sejenak Mencecapi Kuliner Kedai Kopi Botan Tanjungbalai nan Melegenda

Berbagai kampung seni yang tersebar di berbagai daerah masih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Salah satunya adalah Desa Kasongan, desa yang berada di Kecamatan Kasihan, Kabupatan Bantul ini menjadi daya tarik dengan ragam produksi gerabah.

Menurut legenda yang ada, Kasongan berawal dari kematian seekor kuda milik seorang perwira polisi Belanda di persawahan milik warga. Karena takut akan dampak hukuman yang ada, masyarakat di sana pun melepaskan hak milik tanah mereka.

Lahan sawah tak bertuan ini akhirnya ditempati oleh warga desa lain yang datang untuk memanfaatkan kekayaan tanah liat di sana. Mereka memulai hidup dengan membuat berbagai perlengkapan dapur dan mainan dari tanah liat. Ketahanan bahan baku ini akhirnya membuat mereka berkarya dengan membuat kendi, guci, pot, dan benda rumah tangga lainnya.

Pengrajin gerabah membawa guci bikinannya untuk dibakar. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Terlepas dari benar atau tidaknya legenda tadi, faktanya, Kasongan kemudian berkembang dan terkenal dengan kualitas gerabahnya. Kelihaian mengolah tanah liat pun menjadi "harta" yang diwariskan secara turun-temurun.

Ratusan showroom kecil hingga besar mengisi setiap ruas jalan di sana. Bila musim liburan datang, mobil pribadi dan bus pariwisata pun banyak terparkir. Selain datang untuk membeli berbagai kerajinan, wisatawan juga datang untuk belajar bagaimana cara mengolah tanah liat menjadi berbagai bentuk perabotan. Tidak mahal, hanya sekitar Rp50.000.

Wisatawan asal Papua datang untuk belajar mengolah tanah liat. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)