Kisah Pengrajin Patung Cor Kuningan di Desa Bejijong Mojokerto

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 19 Desember 2018 | 10:00 WIB
Proses pembuatan patung cor. (Fully Syafi)

Nationalgeographic.co.id – Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, amat terkenal dengan industri cor kuningannya. Di desa ini, terdapat 40 pengrajin dengan hasil produksi berupa patung Buddha, replika candi, serta berbagai cinderamata yang terbuat dari logam kuningan. Agus Kasiyanto merupakan salah satunya.

Sejak kelas 2 SMP, Agus sudah mengenal seluk beluk industri cor kuningan. Ini semua karena orangtuanya sudah menggeluti bidang tersebut dari 1970-an. Setiap pulang sekolah, Agus membantu mengerjakan patung kuningan. Ia terjun langsung untuk melihat dan mempelajari proses pembuatannya mulai dari peleburan, pembuatan cetakkan, hingga proses finishing.

“Sambil membantu orangtua, saya melihat dan belajar sendiri—otodidak sampai akhirnya bisa membuat patung kuningan sendiri,” papar pria berusia 44 tahun ini.

Baca Juga : Atasi Kekumuhan, Warga Desa Doudo Ubah Sampah Jadi Sesuatu yang Bernilai

Seiring beranjak dewasa, tanggung jawab Agus pun bertambah. Ia tidak hanya membuat patung kuningan, tapi juga terlibat dari proses pengadaan bahan baku sampai penjualan kerajinan. Agus kerap diajak orangtuanya mengirim barang ke Bali—peminat terbesar patung kuningan.

“Awalnya masih ditemani orangtua, kemudian dibebaskan sendiri. Saya mengenal para pengepul dan sering bertemu pemilik art shop di Bali,” cerita Agus.

Berdasarkan bekal dari orangtuanya itu lah, pada 1994, Agus mantap untuk mendirikan usaha kerajinan cor kuningan miliknya sendiri. Dengan mengusung nama UD Buddha Spesial, Agus fokus mengerjakan patung kepala Buddha. Menurutnya, pada era 1990-an kerajinan patung kepala Buddha sangat diminati konsumen, pesanan pun membanjir.

Namun,  hal ini tak berlangsung lama. Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998, para pengrajin cor kuningan di Desa Bejijong turut terkena dampaknya. Harga bahan baku meningkat tajam sehingga para pegiat industri ini kesulitan memenuhinya. Dari 200 orang pengrajin di desa Bejijong, hanya tersisa 40 pascaorde baru.

Galeri hasil karya Agus. (Fully Syafi)

“Banyak usaha cor kuningan yang tiarap,” ujar Agus.

Meski berhasil menyelamatkan UD Buddha Spesial, tapi ia merasa persaingan antarpengrajin semakin ketat. Agus dan istrinya yang ikut menjalankan bisnis ini pun dituntut untuk semakin kreatif. Mereka tak lagi mengerjakan patung Buddha saja, tapi juga membuat cinderamata dari logam kuningan. Motifnya pun beragam. Agar tidak menimbulkan konflik dengan puluhan pengrajin lain, motif dari setiap pengusaha dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes).

“Perdes ini melindungi pengrajin. Sebagai contoh, barang dan motif yang sudah saya buat, tidak boleh diproduksi yang lain. Ada hak ciptanya,” tutur Agus.