Nationalgeographic.co.id - Langkah mereka berderap pelan di lantai beralaskan tanah itu. Sumirah menapakkan kakinya dengan hati-hati. Dalam usia 60 tahun, lututnya tidak berfungsi seperti dulu ketika ia masih muda. Pemuda berseragam putih ungu mengikutinya. Mereka menuju dapur yang terletak di bagian belakang. Rumah bergaya limasan tradisi setempat dibangun oleh almarhum kakeknya, Sumirah. Tepatnya pada tahun berapa, Sumirah tidak ingat, tetapi rumah ini sudah dihuni sampai lima generasi. Termasuk anak dan cucu Sumirah.
Dengan seksama pemuda bernama Ahmad Rifa'i itu memperhatikan kondisi dapur sederhana milik Ibu Sumirah. Ukurannya tidak luas, secukupnya. Tidak ada meja di dapur. Terlihat beberapa panci dan kuali tergantung di sisi dinding. Beberapa perkakas dapur dan rumah tergeletak sembarang di lantai. Cahaya matahari yang menembus celah-celah dinding anyaman bambu menjadi sumber penerangan pada siang hari itu.
Baca Juga : Jaich Maa, Rumah Bagi Ekosistem Baru di Dasar Laut yang Gelap
Ahmad mengeluarkan senter dari tas yang ia bawa. Kemudian bergerak menuju gentong air yang terletak di pojok ruangan. Ia mengarahkan senter ke dalam gentong. Yang Ahmad lakukan adalah mengecek jentik-jentik nyamuk untuk mencegah keberadaan nyamuk Aedes Aegypti, salah satu spesies nyamuk yang dalam tiap gigitannya dapat membawa berbagai penyakit mematikan, seperti demam berdarah (DBD), demam zika, atau pun chikungunya.
Bukan tanpa alasan Ahmad melakukan hal ini. Sampai April 2018, tercatat ada 63 kasus DBD yang terjadi di Bojonegoro dengan satu korban meninggal.
Ibu Sumirah dan Ahmad bercakap-cakap sejenak, sebelum akhirnya melangkahkan kaki mereka menuju teras rumah. Di luar lebih ramai, terutama ditambah kehadiran anak-anak ayam yang sibuk bercicit di halaman depan. Ahmad Fandhi Zwageri, yang akrab disapa Fandhi, rekan dari Ahmad duduk di teras depan bersama Sumaryoto, suami Sumirah. Duduk di salah satu kursi yang disediakan, Fandhi yang pula menggunakan seragam putih ungu memegang sebuah poster yang berisikan infografik dengan topik kesehatan. Ibu Sumirah mengambil tempat duduk di sebelah suaminya, Sumaryoto. Nabila, sang cucu yang masih batita, duduk di pangkuan kakeknya.
Mereka bertiga menatap Fandhi yang langsung membuka sesi pembinaan kesehatan minggu ini, yaitu penyuluhan tentang rumah sehat. Dengan fasih pemuda alumni kampus ungu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Husada (STIKes ICSada) Bojonegoro ini menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dari rumah agar bisa menjadi hunian yang sehat bagi keluarga yang tinggal di dalamnya. Kebersihan, tata letak ruangan, kandang hewan peliharaan, sampai ventilasi udara yang baik adalah hal yang utama.
Sesekali ia disahuti oleh Ahmad, atau Ibu Indrawati, Kader PPKBD yang menemani kunjungan kali itu. Sesekali pula sesi penyuluhan yang santai itu diisi dengan gelak tawa.
Sesi penyuluhan kali ini melanjutkan sesi sebelumnya tentang penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat dan check up kesehatan umum. Keluarga Ibu Sumirah yang tinggal di Desa Ngampel, Kecamatan Bojonegoro, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur adalah salah satu dari keluarga binaan (KaBi) yang diprioritaskan untuk mendapat penyuluhan tentang kesehatan dari Sahabat Pertamina.
Sahabat Pertamina adalah Program Pendukung Operasi (PPO) Pertamina EP Asset 4 Sukowati Field dengan fokus pada pilar kesehatan. Program ini bertujuan untuk menguatkan kesadaran kesehatan berbasis masyarakat, dimulai dari unit terkecil: keluarga. Targetnya, sampai setahun ke depan adalah 240 keluarga binaan dari Desa Ngampel, Desa Campurejo, dan Desa Sambiroto dengan kesadaran dan kualitas kesehatan yang meningkat.
Ketiga desa ini terpilih sebagai sasaran program Sahabat Pertamina karena lokasinya yang dekat dengan daerah penambangan migas Pertamina EP Asset 4 Sukowati Field, yaitu Lapangan A dan Lapangan B. Program ini menjadi tanggung jawab sosial bagi Pertamina sebagai BUMN migas nasional Indonesia untuk memberikan manfaat pada masyarakat di sekitarnya.