Pendidikan bagi Anak-Anak Suku Anak Dalam

By Amalia Nanda, Kamis, 27 Desember 2018 | 10:00 WIB
SAD hidup berpindah-pindah di pelosok. (Zhu Qincay)

Nationalgeographic.co.id - Bu Reny mengendarai motor di jalan kecil yang dikelilingi oleh hutan. Kerap kali ia terjatuh selama perjalanan menuju Suku Anak Dalam (SAD) karena medan yang ia tempuh hanyalah jalan tanah dengan kontur yang tidak rata. Namun, tantangan ini tidak menjadi persoalan besar baginya. Ada yang lebih penting, bertemu dengan anak-anak SAD dan belajar bersama.

Bu Reny adalah salah satu relawan pengajar yang tinggal bersama SAD di pinggiran Sungai Pejudian dalam hutan dekat Dusun Tujuh, Desa Muara Medak, Sumatera Selatan.

SAD hidup nomaden, bergantung pada alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tersebar di hutan dalam wilayah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Kehidupan di alam dan jauh dari kehidupan perkotaan membuat mereka tidak mengenal peradaban yang ada di luar hutan, tidak terkecuali pendidikan.

Baca Juga : Es di Greenland Meleleh dengan Sangat Cepat, Apa Penyebabnya?

Mengingat pendidikan adalah barang asing bagi mereka, membaca dan menulis pun bukanlah hal yang lazim bagi mereka. Sehingga hal ini menjadi tantangan pertama bagi Bu Reny. Ia masuk ke lingkungan SAD yang saat itu masih hidup berpindah-pindah. Hanya dengan gubuk terpal dan kayu yang jauh dari kata layak, tanpa pasokan listrik, ia tinggal di sana bersama seorang pengajar lainnya.

Penolakan sempat datang dari kebanyakan kepala keluarga SAD yang tinggal di lingkungan tersebut. Hakikatnya, berinteraksi dengan orang luar saja merupakan sebuah pelanggaran adat, apalagi mendapat pendidikan, dan berasal dari orang asing. Terlebih lagi bagi mereka, untuk apa pendidikan jika tidak bisa membantu orang tua mencari ikan untuk makan sehari-hari?

Berbagai penolakan dan rintangan tadi tidak membuat Bu Reny berkecil hati. Ia membuat pendekatan dengan “memanfaatkan” anak-anak dari keluarga yang dapat menerimanya.

Anak-anak SAD diperkenalkan dengan baca tulis. (Zhu Qincay)

Baca-tulis bukan hal yang menarik bagi anak-anak ini, ia paham bahwa hanya alam lah yang paling dekat dengan mereka. Ia mengajak anak-anak ke hutan, memanjat pohon, menggantung kertas-kertas berbentuk alfabet di sana, kemudian meminta mereka untuk mengambil bentuk alfabet yang ia sebutkan. Di lain waktu, mereka belajar berhitung. Ia akan memetik buah-buahan di hutan, kemudian memberikannya kepada anak-anak SAD sambil berhitung.

Metode pengajaran ini efektif untuk anak-anak SAD. Dalam kurun waktu empat bulan, mereka sudah bisa baca tulis dan berhitung.

Membuka Pikiran

Sudah dua tahun Bu Reny tinggal dan mengajar di dalam lingkungan SAD. Anak-anak yang tampak gembira bermain dan belajar bersama pun pada akhirnya membuat anak-anak lain terpanggil. Kini, ada sekitar 15 anak usia 16 tahun ke bawah yang mengikuti kegiatan belajar-mengajar ini.

Terlebih ketika adanya Sekolah Apung, sekolah yang dibangun di atas sungai dan dapat berpindah. Mereka pun semakin giat belajar. Dampaknya, sekolah harus membagi kelas menjadi dua jenis, Paket dan Non-Paket. Kelas Paket berisi anak-anak usia yang lebih tua dan dianggap mampu mengikuti ujian Paket A. Sebanyak enam anak sudah didaftarkan untuk ujian tahun depan.

Baca Juga : Jaich Maa, Rumah Bagi Ekosistem Baru di Dasar Laut yang Gelap

Layaknya bel sekolah, Bu Reny akan setengah berteriak untuk mengumpulkan anak-anak di sekolah. “Kocan, Amel, pakai sandal, nak!” serunya pada kakak beradik yang bermain berlarian di depan hunian mereka. Pagi itu, hanya ada sembilan orang anak yang hadir. Sisanya, ikut orang tua ‘ke laut’, istilah yang digunakan untuk mereka yang mencari ikan di sungai besar.

Anak-anak antusias belajar tentang ciri-ciri makhluk hidup, dilanjutkan dengan berhitung. “Dulu, mereka bahkan tidak tahu apa itu uang. Mereka tidak bisa membaca nominal uang,” tutur Bu Reny.

Belajar dengan alam sebagai medianya. (Zhu Qincay)

Bagi sebagian orang, dua tahun adalah waktu yang tidak singkat. Namun bagi anak-anak SAD, dua tahun adalah waktu yang singkat yang mengubah hidup mereka. 17 Agustus 2017 menjadi kali pertama bagi mereka melaksanakan upacara bendera. Mereka tidak tahu apa itu Indonesia dan perayaan kemerdekaan. Semula, mereka tidak mengenal cita-cita. Kini mereka bisa membayangkan pekerjaan lainnya di luar sana. Anggi ingin jadi polwan, Gina ingin jadi perancang busana, Baim ingin jadi tentara, sedangkan Adi ingin menjadi seorang astronaut.

“Sekarang, aku ingin jadi fotografer seperti omnya!” seru Adi.

Tidak Putus Harapan

Banyak yang pesimis akan misi menanamkan pendidikan bagi anak-anak SAD. Namun upaya ini akan terus dilanjutkan. Saat ini, mereka tidak bisa sepenuhnya menggantungkan diri pada sungai dan hutan. Pembelajaran dasar seperti baca, tulis, dan berhitung, setidaknya mulai mendekati kehidupan mereka. Pengalaman orang tua mereka yang ditipu saat menjual ikan hasil tangkapan atau saat diminta menyetujui dokumen bantuan palsu dari oknum tidak bertanggung jawab, bisa dihindari.

Baca Juga : Berolahraga di Tanjung Lesung, Wisata Sambil Mengolah Tubuh

“Anak-anak adalah kelanjutan hidup mereka bersama,” kata Bu Reny. Dalam usianya yang masih muda, 23 tahun, ia memiliki kesadaran sosial tinggi untuk melakukan hal ini sepenuh hati. Dua minggu sekali, ia akan pulang ke rumahnya di Jambi selama satu atau dua hari untuk bertemu keluarga sambil membawa barang-barang yang diperlukan bagi anak-anak Suku Anak Dalam. Alat tulis, buku, atau pakaian.

“Tidak selamanya, saya bisa terus di sini. Pengajar pun membutuhkan penerus.” Bu Reny akan berangkat ke Australia untuk belajar Social Development di University of Melbourne pada Juli 2019. Penggantinya, Bu Putri, yang dulunya sesekali datang untuk mengajar, mulai ikut tinggal bersama SAD. Mereka tergabung dalam komunitas Sobat Eksplorasi Anak Dalam (SEAD). Organisasi ini digandeng oleh CSR JOB Pertamina-Talisman Jambi Merang untuk menanamkan pendidikan yang didukung oleh fasilitas penghidupan yang layak - seperti hunian sehat dan air bersih, bagi Suku Anak Dalam.

(Zhu Qincay)