Mengapa Erupsi Anak Krakatau Berpotensi Timbulkan Tsunami di Selat Sunda?

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 26 Desember 2018 | 11:41 WIB
Letupan lava di Gunung Anak Krakatau. (Glend Agoes/Fotokita.net)

Nationalgeographic.co.id - Gelombang tsunami terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam lalu. Tidak adanya peringatan dini membuat korban jiwa dan kerusakan yang terjadi cukup parah. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Selasa (25/12), jumlah korban meninggal bertambah menjadi 429 orang, sementara 1.485 lainnya luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.802 penduduk harus mengungsi.

Dilansir dari National Geographic, alasan mengapa tidak ada peringatan tsunami sebelumnya karena sumber gelombang ini sangat mengejutkan.

Baca Juga : Tsunami di Banten dan Lampung, BMKG: Bukan Karena Gempa Bumi

Ketika berbicara tentang tsunami, biasanya ada gempa bumi yang mendahuluinya. Pergerakan di kerak samudra dapat memindahkan bongkahan air di atasnya, menyebabkan gelombang menumpuk, kemudian menabrak pantai di dekatnya.

"Namun, hal tersebut bukan satu-satunya penyebab tsunami," ujar Mika McKinnon, ahli geofisika. Ia menambahkan, gelombang besar juga dapat dipicu oleh runtuhnya tebing gletser, tanah longsor, dan letusan gunung berapi.

Tsunami yang terjadi di Selat Sunda kemungkinan disebabkan oleh runtuhnya bagian dari Gunung Anak Krakatau yang sedang aktif. Diketahui bahwa Gunung Anak Krakatau telah mengalami erupsi sejak 18 Juni lalu.

Data dari satelit Sentinel-1 milik European Space Agency (ESA) menunjukkan sebagian besar sisi selatan Anak Krakatau telah meluncur ke laut.

Menurut Mika, peristiwa tersebut bukan hal biasa. Pasalnya, gunung berapi menempel bersama-sama dengan lapisan batu, di mana setiap letusan hanya membuatnya tergelincir ke bawah menuruni lereng.

"Potongan yang terlepas biasanya tidak besar. Namun, yang terjadi di Selat Sunda kemarin adalah sebaliknya. Jika benda yang jatuh ke laut sangat besar, maka itu dapat mengirim gelombang kuat ke pantai tanpa peringatan," paparnya.

"Anda dapat membayangkannya seperti melempar batu ke dalam kolam. Itu akan menciptakan cipratan air yang besar," imbuh McKinnon.

Baca Juga : Tsunami Anyer, BMKG: Erupsi dan Cuaca Menjadi Penyebabnya

Menggunakan waktu kedatangan gelombang dan topografi wilaya sekitar, Andreas Schafer, peneliti dari Karlsruhe Institute of Technology, mulai meneliti di mana tanah longsor, Kecepatan dan tinggi gelombang ditambah dengan kedalaman air, memungkinkan peneliti melakukan simulasi mengenai peristiwa tsunami Selat Sunda.

Pemodelan yang dilakukan Schafer menunjukkan bahwa tanah longsor melaju ke tenggara atau barat daya, dengan gelombang yang memakan waktu 30-35 menit hingga akhirnya menghantam daratan. Data menyatakan, gelombang tersebut pertama kali menabrak Marina Jambu, di dekat Anyer.