Antibiotik Saat Flu Tidak Disarankan dan Bahkan Dilarang, Mengapa?

By National Geographic Indonesia, Senin, 31 Desember 2018 | 11:37 WIB
Ilustrasi flu. (cyano66/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Tenggorokan yang gatal, sakit kepala, demam, dan tubuh rasanya tidak enak merupakan gejala-gejala sakit yang kita takuti. Tekanan pekerjaan dan komitmen janji dengan berbagai orang sering membuat orang mencari solusi cepat dengan pergi ke dokter umum atau tenaga profesional kesehatan lainnya. Solusi cepat ini berupa antibiotik.

Bukti menunjukkan penggunaan antibiotik sedang meningkat, sehingga menyebabkan kekhawatiran karena penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat mengakibatkan resistansi antimikroba. Resistansi antimikroba adalah kemampuan mikroorganisme seperti bakteri dan virus untuk berevolusi sehingga antimikroba (antibiotik dan antivirus) menjadi kurang efektif dalam membunuh atau bekerja melawannya.

Resistansi antibiotik mengakibatkan perawatan standar berupa pemberian antibiotik kepada orang yang sakit menjadi tidak efektif. Hal ini membuat orang yang membutuhkan antibiotik untuk perawatan infeksi yang serius menjadi rentan.

Baca Juga : Resolusi Tahun Baru Sering Gagal? Mungkin Karena Kurang Tidur

Masalah ini telah diakui sebagai masalah global global dalam sebuah penelitian yang disponsori pemerintah Inggris. Temuan ini membuat National Institute of Clinical Excellence (NICE) mengeluarkan standar kualitas untuk membantu dokter ketika meresepkan antibiotik guna memperlambat peningkatan resistansi antimikroba.

Harapan antibiotik

Hasil penelitian, di mana saya terlibat, menemukan bahwa banyak pasien rentan punya risiko tinggi terhadap resistansi terhadap mikroba. Mereka termasuk orang-orang yang memiliki penyakit pernafasan kronis, yang banyak di antaranya memiliki obat-obatan antibiotik di rumah mereka. Pemberian resep berulang ini sering dilakukan tanpa pengetahuan yang cukup untuk mendukung penggunaannya atau menyoroti kekurangannya, sehingga pemberian resep yang tidak diperlukan bisa dilakukan terus menerus.

Keyakinan serta ekspektasi pasien, tenaga kesehatan, dan masyarakat telah menjadi pendorong utama dari penggunaan antibiotik berlebihan. Dari sudut pandang pasien, keinginan sembuh, lebih penting daripada pertimbangan eksternal seperti kampanye yang menganjurkan pembatasan penggunaan antibiotik. Sedangkan bagi tenaga profesional kesehatan, kepentingan masyarakat luas terjadi di luar praktik konsultasi dengan dokter sehingga sering diabaikan, begitu juga dengan hasil penelitian. Hal ini melahirkan siklus ekspektasi dan kepentingan pribadi yang menguntungkan dokter maupun pasien tetapi mengabaikan masalah sosial yang lebih luas.

Maka, mungkin banyaknya resep antibiotik yang dikeluarkan, terutama di musim flu, didorong oleh ekspektasi-ekspektasi ini–baik dari pasien maupun tenaga kesehatan. Ini tidak hanya berlaku untuk resep antibiotik. Penelitian kami sebelumnya menemukan perilaku serupa dengan terapi oksigen. Meski banyak bukti dan pedoman yang dikeluarkan, pemberian resep dan pemberian terapi oksigen yang buruk tetap ada dan sering diberikan secara rutin untuk sesak napas pada pasien.

Prioritas medis

Laporan dari komite perawatan kesehatan dan sosial parlemen Inggris tentang resistansi antimikroba telah menyarankan agar masalah ini dimasukkan ke dalam “lima besar prioritas kebijakan” pemerintah Inggris dengan menekankan perlunya mendukung industri farmasi untuk mengembangkan antibiotik baru.

Bagaimana Brexit akan mempengaruhi nilai investasi untuk penemuan obat antibiotik yang baru masih tidak jelas. Namun tetap ada kebutuhan mendesak untuk mempromosikan pemberian resep yang bertanggung jawab dan tepat melalui pendidikan, penelitian, pedoman, dan kampanye.