Mengapa Seseorang Cenderung Makan Banyak Ketika Sedang Kesal?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 10 Januari 2019 | 12:50 WIB
Beberapa orang mengatasi stres dengan makan berlebihan. (VladimirFLoyd/Getty Images/iStockphoto)

Untuk menentukan orientasi keterikatan, seseorang bisa menerapkan sebuah teknik psikologi yang disebut “security priming.” Teknik ini didesain untuk membuat orang berperilaku seperti orang yang merasa bisa mengatasi semua kesulitan dalam hidup. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang menguntungkan secara general, seperti terlibat dalam perilaku yang mengutamakan hubungan sosial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan asupan cemilan. Ketika mereka ditanya untuk mengambarkan sebuah hubungan yang baik, mereka akan makan lebih sedikit dibanding ketika mereka ditanya untuk menggambarkan hubungan yang buruk dalam kehidupan mereka (meskipun penelitian ini masih berada pada tahal awal dan butuh untuk diperluas)

Melihat pada cara mengatur emosi, sebuah penelitian yang baru saja diterbitkan menjelaskan pentingnya orang-orang yang suka makan karena sedang emosi untuk fokus pada kemampuan mereka untuk mengatasi stres mereka ketimbang membatasi asupan kalori mereka. Penelitian ini tidak melihat secara khusus mereka yang juga memiliki kegelisahan terhadap keterikatan dengan orang lain, sehingga penelitian lebih lanjut perlu dilakukan.

Tentu saja, dalam sebuah dunia yang ideal, setiap orang akan memiliki pengalaman berelasi dengan orang lain yang akan membantu mereka membangun rasa aman ketika berhubungan dengan orang lain, dan mungkin saja hal ini adalah pendekatan lainnya yang masih tersembunyi–yaitu dengan memfasilitasi hubungan interpersonal yang lebih baik untuk semuanya.

Beberapa orang mengatasi stres dengan makan berlebihan. (VladimirFLoyd/Getty Images/iStockphoto)

Laura Wilkinson, Lecturer in Psychology, Swansea University; Angela Rowe, Reader in Social Cognitive Psychology, University of Bristol, dan Charlotte Hardman, Lecturer in Appetite and Obesity, University of Liverpool

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.