Menimba Ilmu Alam di Kawasan Penanaman Cemara laut dan Mangrove

By Agni Malagina, Jumat, 11 Januari 2019 | 10:41 WIB
Belajar tidak harus selalu di kelas. (Sigit Pamungkas)

Menanam bakau (Sigit Pamungkas)

“Warga mengenal mangrove dengan nama prapat. Itu jenis Sonerasia, pembibitannya juga lama. Dia itu pemecah ombak. Jenis lain nama lokalnya Rhizopora itu Pentol atau Bakau, juga Pemphis itu sentigi,” kata Sahril menambahkan penjelasannya. Ia menyadari pentingnya bakau, tak hanya menahan abrasi, juga sebagai pemecah ombak, bahkan ombak tinggi sekalipun. Ia sadar akan bencana tsunami yang bisa saja terjadi di wilayahnya.

“Kalau Avicennia ini disebutnya api-api. Daunnya yang muda kami masak jadi urab dicampur bumbu kelapa, bijinya kami tambahkan dalam kopi menjadi kopi mangrove Labuhan. Mangrove-nya juga untuk pakan ternak, tapi nebangnya yang benar. PHE kirim kami belajar di Bali untuk pemanfaatan mangrove-nya,” ujar Sahril menerangkan usaha-usaha pemanfaatan bakau yang dilakukan oleh warga.

Ia pun mengajak kami menaiki menara pandang yang dibangun oleh PHE WMO pada tahun 2016 setinggi 16 meter. Kami dapat melihat hamparan bakau dan pohon cemara laut. Tampak pula pelantar kayu yang memiliki hitungan panjang 300 meter, kawasan itu tampak hijau walaupun masih terlihat beberapa area yang belum ditanami. Sahril menunjuk ke arah pantai, “lihat, ada burung blekok ya itu.” Kami tergelak dan mengingat perjalanan pagi tadi saat menyusuri pantai pasir putih Labuhan. Kami melihat bakau yang mulai membesar, air berombak riak, burung bangau putih yang sesekali terbang, hinggap di pohon atau menjejakkan kakinya di pantai berair.

“Sejak tempat ini ditumbuhi mangrove, burung-burung semakin banyak. Burung singgah pun banyak. Kepiting berkembang biak. Ikan juga bertambah,” ungkap Sahrir sambil menambahkan bahwa PHE WMO juga mempunyai program penelitian burung, yaitu Bird Banding. Program penelitian burung migran dengan memberikan cincin bendera warna khusus (Migratory Shorebird) untuk burung yang singgah di Labuhan yang berkontribusi pada pencatatan data jenis-jenis burung di dunia. Labuhan teleh memiliki cincin benderanya sendiri berwarna oranye.

Bagi PHE WMO, terdeteksinya burung-burung pantai (shorebird) ini merupakan salah satu bioindikator keberadaan lahan basah di pesisir pantai. “Ada sekitar 15 jenis burung terdeteksi di Labuhan ini,” kata Sahril sembari menyebutkan beberapa diantaranya yaitu burung gajah-gajahan, burung trinil, burung bondol, burung cekakak sungai, burung kokokan laut, burung perkutut Jawa, burung madu sriganti, burung prenjak padi, dan lainnya. PHE WMO juga mengadakan kegiatan pendidikan burung migran bersaka KSBL Pecuk dalam rangka World Migratory Bird Day pada tahun 2016.

Keadaan pantai (Sigit Pamungkas)

Setelah puas menyaksikan kegiatan burung dan area mangrove dari ketinggian, kami mengikuti Pak Sahril menuju area pantai pasir putih. Kami mengarah ke pantai barat, Labuhan. “Sekarang jauh lebih baik, pantai ini tampak hijau. Ikan, kepiting, lobster pun cukup menjanjikan sebagai tangkapan warga. Jika pantai barat lengkap fasilitasnya, tetua akan mengijinkan daerah itu dibuka untuk pengunjung,”jelas Sahril. “Yang jelas nanti dikelola BUMDES seperti pantai timur,” tegasnya sambil mengenalkan BUMDES desanya yang pernah mendapat penghargaan Madura Award sebagai BUMDES paling bergeliat di Madura pada tahun 2017. “Supaya semua warga dapat terlibat dan sejahtera,”tutup Sahril.

Sesekali kami membenamkan kaki ke dalam pasir putih yang mulai memanas karena sengatan matahari. Sesekali kami juga membenamkan kaki di perairan. Kami berjalan menuju pantai barat Labuhan, tempat PHE MWO dan komunitas Payung Kuning akan menggiatkan konservasi bakau dan terumbu karang.

Baca Juga : Viral, Video Monyet Salju Jepang Melakukan 'Akrobat' di Kabel Listrik

Kami melewati lanskap alam dan lanskap budaya yang sangat kaya di Labuhan. Pernah mata kami tertumbuk pada rumah kuno yang sering disebut Bheley dalam bahasa setempat, rumah-rumah bertubuh ramping dan memiliki gebyok kayu berukir akulturasi Tiongkok Madura gaya Majapahitan menghadap pantai dan laut lepas yang tentunya menjadi buruan kolektor antik. Belum lagi kami dapat menemui tempat pembuatan kapal bercadik ala Labuhan yang dikenal dengan Jung Julung, terbuat dari kayu utuh dipasang cadik.

Tidak kurang kami dimanjakan oleh keberadaan warga Labuhan yang ramah saat kami bertegur sapa. Labuhan, sebuah daerah konservasi bakau dan memiliki kekayaan budaya yang patut dilesatarikan untuk keberlanjutan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik.