Riwayat Kiprah Tabib Cina di Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 11 Januari 2019 | 18:12 WIB
Spinhuis (Johan Nieuhoff (1618-1672), Atlas of Mutual Heritage and the Koninklijke Bibliotheek)

Nationalgeographic.co.id - Kapan pertama kali bekam tradisional memasuki Nusantara? Sampai sejauh ini kita hanya bisa menduga-duga. Bekam tradisional diduga memasuki Nusantara sejak para pedagang Cina dan Arab berlabuh di sini karena mereka dipersatukan oleh jalur rempah. Inilah sekelumit catatan semasa tentang jalan setapak praktik ilmu kedokteran asal Negeri Tiongkok di kepulauan kita.

“Mereka membungkus dan mencekik leher pasien, menjungkirkannya ke bawah, dan mengguncang-guncangkannya, sehingga darah mengalir ke bagian kepala,” ungkap Johann Jacob Saar (1625-1672). Kemudian “mereka menusuk dahi pasien, menempatkan secarik kain katun di atasnya dan mengikatkannya di sekitar kepala.”

Saar yang berasal dari Nuremberg, Jerman, merupakan salah satu pelancong Eropa awal yang memerhatikan pengobatan oleh tabib Cina di Batavia pada pertengahan abad ke-17. Selama 14 tahun, dia mengabdi sebagai serdadu VOC. Selama di Batavia, Saar menulis buku harian yang kelak diterbitkan pada 1662. Buku Saar itu berjudul Ost-Indianische Funfzehen-Jährige Kriegs-Dienste, Und Wahrhafftige Beschreibung.

Pemeriannya tentang penyembuhan ala tradisi Cina itu mengundang rasa ngeri bagi orang Eropa—mungkin juga bagi dirinya sendiri. Betapa Saar menggambarkan praktik pengobatan kuno dengan cara mengeluarkan darah dari tubuh si pasien—bloodletting atau pembekaman. Pengobatan ini diyakini membuang darah kotor yang menyebabkan seseorang sakit. Selain mengeluarkan darah dari kepala, kadang para tabib itu mengambil darah dari lengan pasien. Intensitasnya bisa beberapa kali dalam setahun.

“Ketika kondisi mengkhawatirkan, mereka bukan lagi menggunakan kepala, melainkan memakai  tanduk sebagai alatnya,” ungkap Saar. “[Setelah tanduk dipanaskan] mereka meniup kedalam rongga tanduk dan melekatkannya dengan cepat ke tubuh pasien. Ketika kulit telah terangkat, mereka menusuknya dengan lanset.”

Awal penyebaran penyembuhan ala tradisi Tiongkok ke penjuru Asia Tenggara konon bermula ketika ekspedisi Cheng Ho pada awal abad ke-15. Setidaknya 180 tabib ikut serta dalam ekspedisi yang diyakini berpengauh dalam pengobatan, perawatan kesehatan, hingga peralatan medis di sepanjang rutenya. Mereka yang direkrut merupakan para tabib swasta terkemuka dan pegawai medis dari Taiyi Yuan, sebuah akademi ilmu kedokteran kekasiaran yang sohor.

Kendati demikian, catatan paling awal tentang praktik tabib Cina di Jawa baru terungkap pada beberapa dekade jelang berakhirnya masa Dinasti Ming, atau sekitar awal abad ke-17.

Tersebutlah seorang bernama Equa. Dia adalah seorang Cina yang telah dikristenkan dan secara resmi ditunjuk sebagai tabib oleh kantor Gubernur VOC pada 1635. Sebutan resminya, Meester Isaac. Gubernur Jenderal Anthony van Diemen memberikan hak kepada Equa untuk menempati tanah di tepian timur Kanal Buitenkaaimansgracht, di luar tembok kota, sekitar aliran Kali Ciliwung di Jalan Jayakarta pada masa kini.

Pada 1640, VOC memberikan izin kepada komunitas Cina di Batavia dalam menghimpun dana untuk pembangunan Rumah Sakit Cina untuk fakir miskin, Yangji Yuan. Enam tahun kemudian, Rumah Sakit itu selesai dibangun. Pengelolanya dua orang Cina, salah satunya Meester Isaac Equa, dan dua orang Belanda beserta sekretaris pribadi. Awalnya, bangunan itu sederhana karena berstruktur bambu. Sekitar 1661 dan 1667 berdinding batu bata, kemudian diperbesar pada 1729.

Dalam sebuah pameran litografi di Jakarta, saya termangu di depan lukisan tentang Spinhuis, rumah pembinaan bagi perempuan jalang di Batavia pada abad ke-17 (lihat gambar sampul artikel ini). Johan Nieuhof (1618-1672), menggambarkan rumah binaan yang tidak memiliki jendela kecuali di sisi timurnya yang menghadap kastel. Sebelah kanannya merupan Rumah Sakit Cina, yang merawat orang miskin yang sakit dan sekaligus panti jompo. Lokasinya kini di sekitar Jalan Tiang Bendera I, Jakarta Kota. Kini, kanal di depannya telah berubah menjadi permukiman padat.

Rumah Sakit Cina itu berlokasi di dalam tembok kota, sebelah barat Kanal Rhinocerosgracht. Kini, kanal itu telah berganti dengan permukiman padat, sedangkan tapak bekas Rumah Sakit Cina itu menempati salah satu petak di Jalan Tiang Bendera I.

Sekitar 1680-an, Nicolaus de Graaff (1619-1688) memberikan pemerian tentang Rumah Sakit Cina di Batavia. Graff, lelaki kelahiran Alkmaar, Belanda, memiliki keahlian bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan Batavia baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.