Nationalgeographic.co.id - Dengan cekatan pria paruh baya kelahiran 1965 itu melangkah di atas titian bambu yang dirakit di atas rawa-rawa. Namanya Thomas Heri Wahyono, atau Wahyono panggilan akrabnya. Ia adalah pendiri Patra Krida Wana Lestari, kelompok pelestari bakau di Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah.
Warga sekitar sering menyematkan tambahan gelar seperti pahlawan mangrove, pendekar mangrove, kuncen Mangrove, atau jaga wana Segara Anakan, untuk menjelaskan sosok berbadan tegap dan berkulit gelap ini. Julukan yang tidak aneh, melihat sehari-hari Wahyono berkutat untuk menghadapi segala problem terkait dengan pelestarian bakau di Laguna Segara Anakan.
Perhatian Wahyono terhadap bakau bukanlah karena kelatahan. Pria yang tinggal di Kampung Laut itu sedari kecil menjadikan hutan bakau sebagai tempatnya bermain dan mencari ikan. Pria yang hanya berhasil menamatkan Sekolah Dasar itu kagum dengan pohon-pohon besar bakau yang mampu menjadi habitat berbagai macam biota laut. Manfaatnya pun bisa dihitung secara ekonomi. Ia bisa menangkap ikan, kepiting, atau udang dan menukarnya dengan kebutuhan pokok dengan warga di daratan Cilacap.
Baca Juga : Paus Terancam Punah Ditemukan dengan Sampah Plastik di Tenggoroknya
Namun, kenangan Wahyono atas hutan bakau di masa kecilnya rusak ketika pada tahun 1995 para investor datang dan membuka tambak budidaya udang dengan membabat hutan bakau. Tidak perlu waktu lama untuk merasakan dampak kerusakan bakau. Dalam waktu empat tahun saja, ketika perusahaan tambak-tambak udang itu bangkrut, hutan bakau yang dulunya hijau sudah seperti savana, membuat hasil laut yang dulunya melimpah jadi sulit untuk didapatkan.
Kala itu, ia mengajak seluruh anggota keluarganya untuk menjalankan satu misi, yaitu menanam kembali hutan bakau. Ia menyebut komunitas itu sebagai Keluarga Lestari. Di awal upayanya ini, Wahyono kerap mendapatkan cibiran, sampai di tahun keduanya warga sekitar mulai tertarik untuk membantu melakukan kerja sosial tanpa bayaran ini. Dengan jumlah anggota yang terus bertambah, namanya kemudian berubah menjadi Patra Krida Wana Lestari seperti yang dikenal sekarang.
Upaya Wahyono lambat laun menarik perhatian pihak-pihak lain. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan Perikanan, dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan (DKP2SDKSA) Cilacap serta Pertamina RU IV Cilacap memberikan dukungan untuk kegiatan pelestarian bakau. Tahun 2015 lalu, misalnya, kelompoknya mendapatkan bantuan kapal patroli dari Pertamina yang lalu dikelola pokmaswas (kelompok pengawas masyarakat) untuk mengawasi hutan mangrove di sekitar Segara Anakan dan Kampung Laut secara swadaya.
Selain itu, sejak 2009 silam, Pertamina juga telah menyalurkan bantuan bibit sebanyak 1 juta pohon melalui program corporate social responsibility (CSR). Hingga 2018 ada 35 jenis pohon bakau yang teridentifikasi dan sudah mencapai 1.490.000 pohon yang ditanam. Dari ini saja, kawasan konservasi sudah dapat menghasilkan omset sekitar Rp 3 juta per bulan dari olahan bakau dan pendapatan rata-rata sekitar Rp 1-1,5 juta per bulan untuk tiap anggotanya. Keberadaan inisiatif Wahyono untuk melestarikan bakau berdampak positif pada alam, dan juga membawa dampak ekonomi yang berhasil meningkatkan kesejahteraan dari setidaknya 20 perempuan rentan dan dua kelompok lainnya.
Bersama dengan KKP dan DKP2SDKSA Cilacap, Pertamina RU IV juga membangun laboratorium (pusat konservasi mangrove) di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kampung Laut yang dikelola langsung oleh kelompok Patra Krida Wana Lestari.
Baca Juga : Tomat Pedas Seperti Cabai, Rencana Rekayasa Genetika Ilmuwan
Di pusat konservasi tersebut, Wahyono dan komunitasnya melakukan pembibitan bakau yang mampu menghijaukan 160 hektar kawasan pesisir. Kualitas bibit bakau yang dihasilkan juga terjamin bila melihat antusiasme masyarakat yang memesan bibit dari mereka. Kesuksesan ini membuat fungsi area konservasi tersebut juga berkembang, dari menjadi tempat tujuan penelitian mahasiswa, sampai menjadi kawasan wisata.