Catatan Ursula Suzanna tentang Candi Sewu Pascakecamuk Perang Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 26 Januari 2019 | 11:00 WIB
Litografi berwarna dengan judul 'Reruntuhan candi Jawa kuno dengan gunung berapi di kejauhan', 1852. Cetakan dibuat oleh Cornelis Springer, diterbitkan oleh C.W. Mieling. (British Museum)

Nationalgeographic.co.id—Gelora Perang Jawa telah mereda. Seorang pelancong wanita mengunjungi kompleks Candi Sewu pada 1834. Bagaimana kesan-kesannya saat itu?

Suatu hari pada Mei 1827, derap kuda dan debu di jalanan antara Klaten dan Yogyakarta telah meningkatkan kesiagaan sekitar seribu orang berbusana serba putih.  Secara serentak mereka mencegat konvoi kereta yang ditarik sekitar 600 ekor kuda. Kereta-kereta itu mengangkut beras dan uang milik Belanda. Peristiwa penyergapan itu kerap terjadi di sekitar kompleks percandian di Prambanan, tak jauh dari Candi Sewu. Dalang penyergapan adalah Pangeran Dipanagara, yang membangun beberapa markas di perbukitan di kawasan selatan Prambanan. Saat itu, kecamuk Perang Jawa baru berumur dua tahun.

Beberapa bulan berikutnya, Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock mendirikan benteng pertahanan di reruntuhan Candi Ratu Boko. Tujuannya, untuk memberangus aksi Dipanagara. 

Selama Perang Jawa 1825-1830, situasi Candi Sewu turut menderita. Keadaannya semakin buruk. Pembangunan pertahanan militer di sekitar Prambanan banyak menggunakan material batu-batu dari candi.  Siang yang terik pada pertengahan 1834, serombongan pelancong menyinggahi Candi Sewu. Salah seorang diantaranya perempuan bernama Ursula Suzanna Baud-van Braam (1801-1884), istri Gubernur Jenderal Jean Chrétien Baron Baud. Ursula lahir pada 6 April 1801 di Batavia, Hindia Timur. Menikah dengan Jean pada 1833. Candi Sewu merupakan kompleks percandian Buddha abad ke-8 yang terletak di sebelah utara Prambanan. Meskipun namanya “Sewu” yang berarti seribu, bangunan candinya hanya 249.

Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan

Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. (Raden Saleh)

Ketika rombongannya datang ke kompleks Candi Sewu, tampaknya beberapa keluarga bangsawan Surakarta juga tengah plesiran. Keluarga keraton itu meminjamkan kuda-kuda mereka untuk membawa rombongan Suzanna berkeliling. “Kami menaikinya sampai tingkat kedua,” ungkap Suzanna di buku hariannya. “Kami mengelilinginya bukan tanpa kesulitan karena di beberapa lokasi jalan terhalang reruntuhan batu.” Meskipun tubuh candi itu tampaknya mengalami kerusakan parah, Suzanna mesih menemukan keindahan “pahatan hieroglif”, demikian dia mengungkapkan relief-relief dinding candi itu.Mengapa warga setempat menjuliki situs Buddha tersebut dengan Candi Sewu? Soal ini dia berkomentar, “karena ada dua deretan penuh kubah atau menara kecil yang ditempatkan berjarak mengelilingi candi besar, dan masing-masing pernah berisi arca.”

Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa

Lukisan Gubernur Jenderal Jean Chrétien Baron Baud (1789 – 1859) karya Raden Saleh, 1835. Dia menggantikan Johannes van den Bosch, memerintah pada 1834 – 1836. Dia melanjutkan Cultuurstelsel yang menyengsarakan rakyat Hindia. (Rijksmuseum Amsterdam)

“Semuanya dibangun dari batu-batu  yang dipotong beraneka macam bentuk dan tersambung tanpa semen,” ungkapnya. Dia juga membandingkan, Candi Sewu mempunyai persamaan dengan Candi Borobudur. Meskipun demikian, keadaannya saat itu tak sebagus Borobudur.“Semua bangunan kuno itu telah menderita karena perang,” tulis Suzanna. “Benteng-benteng Jawa telah dibangun dengan batu-batu yang diambil dari bangunan candi, dan arca-arcanya diangkut  oleh pencari barang antik amatiran.” 

Ursula Suzzana wafat pada 31 Agustus 1884 di Den Haag, Belanda, dalam usia 83 tahun. Bersama Jean, mereka dikarunia lima anak: nama anak pertama mereka tidak dikenal, Jacob Andries Ambrosius Baud, Willem Vincent Karel Baud, Willem Vincent Reinier Karel Baud, Jeanne Eugénie Baud.

Sayangnya, bangunan yang rusak didera Perang Jawa itu sekitar 30 tahun kemudian keadaanya kian parah lantaran gempa bumi. Saat itu pembiaran dan pencurian semakin menggila. Kini, tak satu pun kepala arca asli berada di tempatnya semula.

Baca Juga: Keraton Yogyakarta Terlibat dalam Siasat Menjebak Dipanagara?