"Inilah bekas ladang pembantaian," ujar Ki Roni Sodewo sembari memandang hamparan persawahan menghijau yang dikepung perbukitan karst di Desa Dekso. Lelaki kurus itu berdiri di tepian jalanan beraspal yang berkelok menuju kaki sebuah bukit. Sembari menunjuk bukit di depan kami, dia berujar, "Dipanagara dan prajuritnya berada di bukit itu."
Desa itu pernah menjadi markas besar kakek moyangnya pada akhir 1825 hingga pertengahan 1826. Dia berkisah, di sekitar tempat kami berdiri, sekawanan serdadu Hindia Belanda Timur pernah terjebak. Mereka tewas dibantai laskar Dipanagara yang muncul tiba-tiba dari arah bukit dan lembah sungai di belakang kami, demikian menurut tradisi tutur warga Kulonprogo, barat Yogyakarta.
Nama sejatinya adalah Roni Muryanto Budi Santoso, keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara. Sebagian turunan Sang Pangeran terserak di sisi barat Kali Progo, daerah gerilya selama Perang Jawa. Kini, mereka melakoni hidup sebagai petani, guru, hingga pejabat pemerintah setempat. Demi mempersatukan kerabatnya yang tercerai-berai dan tak saling kenal, dia mendirikan Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) sejak tujuh tahun silam.
Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa
Awal musim kemarau tahun ini, saya dan Ki Roni menapaki jalanan berliku di sepanjang tepi barat Kali Progo hingga kaki perbukitan Menoreh yang terjal. Kawasan yang sampai sekarang masih bertajuk hutan ini pernah menjadi pusat kekuatan dan medan pertempuran kakek moyangnya. Jika Dipanagara menjadikan perbukitan sekitar Kulonprogo ini sebagai lumbung pangan mereka, sekarang daerah ini berkembang sebagai salah satu kawasan agropolitan di Provinsi Yogyakarta.
Kakek moyang Ki Roni itu lahir di Keputren Keraton Yogyakarta pada Jumat Wage sekitar jam setengah lima pagi, 11 November 1785. Bayi lelaki itu bernama Bendara Raden Mas Mustahar. Anak dari pasangan putra sulung Sultan Hamengkubuwana II—yang kelak pada 1812 bertakhta sebagai Sultan Ketiga—dan istri tak resminya, Raden Ayu Mangkarawati. Konon, orang yang lahir pada Jumat Wage biasanya banyak bicara, namun hal yang dibicarakan tepat. Kelahiran kala fajar juga kerap dikaitkan dengan sosok peneroka zaman.
Saat remaja, pada akhir 1805, namanya berganti menjadi Raden Antawirya. Gelar Pangeran Dipanagara disandangnya pada 1812. Pangeran itu memberikan pemaknaan atas namanya sebagai seorang yang menyebarkan pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara. “Dipanagara itu bukan nama orang,” ungkap Ki Roni. “Itu adalah gelar kepangeranan yang dipakai oleh para putra raja pada zaman dahulu.”
Babad Dipanagara yang tersimpan di Perpustakaan Nasional merupakan autobiografinya dalam aksara pegon (Arab gundul). Ditulis ketika pengasingannya di Fort Amsterdam, Manado. Namun, naskah yang saya saksikan itu bukan aslinya. A.B. Cohen Stuart, ahli sastra Jawa kuno, menyalinnya pada 1860-an. Sayang, naskah asli yang disimpan keturunan Pangeran di Makassar itu sudah hancur. Kabar baiknya, salinan ini diakui UNESCO sebagai Memory of the World pada Juni 2013. Dalam tembang macapat, babad bercerita jujur tentang pribadi Dipanagara yang berbudaya dan beragama Islam-Jawa. Lebih jujur ketimbang buku biografi politisi sekarang yang konon penuh pencitraan.
Sekitar empat kilometer sebelah selatan Dekso, kami singgah di Desa Nanggulan. Pada musim hujan 1828, Belanda pernah mendirikan benteng besar di sini. Kami menjumpai makam serdadu Belanda yang berselubung semak di sudut permakaman desa. Ki Roni membersihkan semak yang menutupi prasasti nisan dengan sabit kecil. Namanya, Kapten Hermanus Volkers van Ingen. “Seharusnya, meskipun milik musuh, kita harus merawatnya. Makam ini merupakan bagian sejarah,” ujar Ki Roni prihatin.“Kasihan Van Ingen.”
Seorang peneliti menemukan buku harian Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir di pasar loak tepian Seine, Prancis. Errembault yang pernah bertugas bersama Van Ingen di Yogyakarta kala Perang Jawa, mengisahkan kemalangan koleganya. Kini, buku harian itu tersimpan di perpustakaan École Française d’Extrême Orient, Paris. “Kapten Van Ingen dan 32 serdadu Eropa tewas dalam pertempuran,” tulis Errembault. Dia melanjutkan, “juga seorang pangeran Yogyakarta yang telah meninggalkan para pemberontak dan telah mengabdi pada pihak kami selama setahun terakhir—bersama 12 prajuritnya. Empat belas orang turut terluka. Kedua meriam milik detasemen berhasil jatuh ke tangan musuh, namun hal itu tidak berlangsung lama.” Demikian kisah tragis Van Ingen pada 28 Desember 1828.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR