Hubungan Jawa dan Cina bagai pasang-surut air laut di negeri ini. Sebelum Perang Jawa, apakah hubungan mereka selalu dalam kebencian?
Saya menjumpai Carey lagi. Kali ini kami berbincang di kediamannya yang anggun, tepi timur Kali Cisadane, Tangerang Selatan. Di ruang tamunya, dia memajang lukisan potret Pangeran Dipanagara bergaya kontemporer.
Pada akhir abad ke-18, keturunan Cina punya berbagai peran di Jawa: pengusaha untuk keraton, ahli medis, hingga selir. Dari naskah keraton yang dirampas Inggris, Carey berkata bahwa Sultan Kedua punya seorang tabib pribadi keturunan Cina. Beliau juga punya selir bernama Mas Ayu Sumarsanawati yang keturunan Cina di pesisir utara. Selir itu melahirkan Jayakusuma, paman Dipanagara yang menjadi panglima dan ahli siasat perangnya, ujarnya.
“Saya kira,” kata Carey, “saat Dipanagara dibesarkan di Yogya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, belum ada semacam apartheid antara Tionghoa dan Jawa.” Dia menduga, istri pertama yang sah dari Dipanagara adalah keturunan Cina. “Yang menjadi betul-betul parah adalah sesudah Belanda kembali. Belanda memaksa sebuah sistem yang bersekutu dengan keturunan Tionghoa sebagai bandar tol.”
Mengapa orang-orang Cina itu mau bersekutu untuk memeras pada 1820-an? Rupanya mereka pendatang baru asal Fujian yang tidak bisa berbahasa Jawa—apalagi kenal budayanya—dan tidak lancar berbahasa Melayu.
Awal perang memang penuh teror terhadap warga Cina. Namun, belakangan, orang Jawa merindukan mereka juga. “Situasi seperti balik ke semula,” ujarnya. “Bahwa orang Tionghoa dibutuhkan untuk menjadi pembekal sebab mereka punya jaringan di pesisir. Mereka menyelundupkan mesiu dalam paket-paket ikan asin”—sebagian bertempur di pihak Dipanagara!
Ketika kebencian terhadap orang-orang Cina masih bergolak, Dipanagara bersama laskarnya pernah bermalam di Kedaren, dusun berbenteng jurang dekat Jatianom. Dalam babadnya, dia mengisahkan suatu malam, seorang perempuan Cina yang menjadi tawanan diutus sebagai tukang pijitnya. Lalu, Sang Pangeran terlena dan berselingkuh dengan perempuan Cina itu.
Menurut Dipanagara, peristiwa malam di Kedaren itulah yang membuatnya keok dalam pertempuran Gawok, Oktober 1826. Dia terluka parah di bagian dada kiri dan tangan kanannya. “Dia bukan orang yang munafik,” ujar Carey. Dipanagara mengakui bahwa sifat buruknya masih melekat dan dia mengakui pula bahwa kelemahannya terhadap kaum hawa. “Dia terus terang, dan itu yang menarik dari babad.”
Baca Juga: Yuk Kita Jelajahi Makam Nelangsa Laskar Dipanagara di Kulonprogo
Pengakuan atas kesalahan sendiri merupakan watak kesatria. Namun, kejujuran Sang Pangeran menjadi tragedi yang tidak diakui. Selama hampir 150 tahun sesudah Perang Jawa, nasib keluarga Dipanegara tidak begitu beruntung. Ibarat pembawa sial, tak ada keluarga Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang menggunakan nama Dipanagara lagi, hingga kini. Di Jawa, keturunannya pernah mendapat stigma seperti orang yang terlibat G30S—cap buruk.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR