“Peristiwa itu merupakan operasi militer yang bodoh sehingga menyebabkan dia tertangkap di hutan dekat Nanggulan dan dibantai dengan seluruh peleton infanterinya,” ungkap Peter Brian Ramsay Carey kepada saya dalam suatu kesempatan. Berdasar isi prasasti makam Van Ingen, Carey memaparkan, “Dia pergi ke pertempuran bersama anjing Irish red setter-nya yang turut dikuburkan di samping makamnya.”
Carey merupakan salah satu sejarawan Inggris terkemuka. Pernah mengajar di University of Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris Raya. Kini dia menjadi Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Selama 40 tahun terakhir, dia telah menyelisik sosok sejati Dipanagara. Buku karyanya yang berjudul The Power of Propechy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java terbit pertama kali pada 2007. Edisi dalam bahasa Indonesia menyusul pada 2012. Sebuah buku yang turut menyatukan kembali ”tulang-tulang yang ter.pisah” wangsa Dipanagaran saat peluncurannya di puing-puing kediaman pangeran itu di Tegalrejo, Yogyakarta.
“Sosok perempuan sangat penting di dalam pendidikan Dipanagara,” ungkapnya kepada saya. Pangeran itu tidak tumbuh dewasa dalam keraton. Sejak usia tujuh tahun, dia dibesarkan dalam suasana pedesaan dan pesantren bersama eyang buyutnya, Ratu Ageng di Tegalrejo.
Baca Juga: Makam Serdadu dan Anjing Kesayangannya yang Dibantai Laskar Dipanagara
Sang eyang buyut itu pernah menjadi panglima laskar perempuan Keraton Yogyakarta. Beliau punya garis leluhur dari Sultan Bima di Sumbawa. Sosok perempuan lain yang memengaruhi karakter Dipanagara adalah Ratu Kedhaton, istri Sultan Kedua atau eyangnya, bergaris keturunan bangsawan Madura. Sementara ibundanya yang bukan berdarah biru, berasal dari Sukoharjo. “Semua sosok perempuan tadi adalah sosok perempuan dari anak kiai.”
“Dipanagara bukan orang Jawa,” ujarnya. “Dia orang Jawa dari ayahnya, tetapi dia punya trah dan darah seperdelapan Sumbawa dan seperempat Madura.”
“Jika kita lihat penggede dalam sejarah Jawa,” kata Carey, "dari Erlangga, Jaka Tingkir, Ki Pamanahan, dan Senapati, sampai Dipanagara; semua lahir dan dibesarkan di areal desa. Mereka bersentuhan sekali dengan rakyat.” Pangeran tampaknya tak berjarak dengan rakyat. Dalam autobiografinya, kala melawat ke tanahnya di daerah selatan, dia selalu bersama rakyat supaya bisa berbarengan turun ke sawah memanen padi. Juga, dia kerap bepergian jauh—perjalanan ke Pantai Selatan dan Delanggu—dengan jalan kaki sambil menyamar sebagai kawula alit. “Itu mungkin mencerminkan realitas sekarang,” kata Carey. “Blusukan pemimpin.”
Kepada Letnan Dua Julius Heinrich Knoerle, perwira yang mengawalnya dalam pelayaran ke Manado, Dipanagara mengungkapkan kegemarannya menyesap anggur putih asal Constantia, Afrika Selatan—meski tidak berlebihan. Dalam percakapan itu tersingkap pula sisi feminitasnya, mungkin pengaruh sosok perempuan saat masa kecil. Selama perang dia sejatinya tidak tega untuk mengangkat senjata. Terhadap korban tewas bergelimpangan di kedua pihak, dia merasa pilu, bahkan, dia sampai menutup kedua matanya.
Mengapa Perang Jawa harus terjadi? Perang ini bukan karena pelebaran jalan yang memangkas tanah Pangeran, seperti yang pernah diajarkan dalam pelajaran sejarah di sekolah dasar. Bukan juga lantaran dia galau sebab tidak terpilih menjadi Sultan. Kabar apkiran itu sengaja didendangkan oleh pemenang perang untuk mengecilkan arti pemberontakan Dipanagara.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR