Nationalgeographic.co.id—Seberapa banyak bagian otak yang sebenarnya dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Pertanyaan ini bukan hanya teka-teki ilmiah, melainkan fakta yang sedang diselidiki para ahli saraf.
Dalam kasus-kasus medis luar biasa, manusia terbukti bisa hidup—bahkan berfungsi secara mengejutkan baik—meskipun kehilangan sebagian besar jaringan otaknya. Temuan-temuan langka ini menantang pemahaman konvensional tentang otak, dan mengungkap ketangguhan luar biasa dari organ paling kompleks di tubuh manusia.
Anda mungkin pernah mendengar mitos bahwa manusia hanya menggunakan 10% dari otaknya. Pernyataan ini jelas tidak benar—faktanya, hampir semua orang menggunakan seluruh bagian otaknya sepanjang waktu.
Namun, dalam kasus individu yang mengalami stroke, cedera otak traumatis, atau menjalani operasi pengangkatan sebagian otak, batasannya menjadi lebih kabur. Banyak kasus menunjukkan bahwa manusia ternyata tidak memerlukan 100% otaknya untuk bertahan hidup, bahkan untuk tetap berfungsi secara normal.
Jadi, berapa banyak bagian otak yang sebenarnya dibutuhkan untuk bertahan hidup?
Para ahli saraf masih terus menyelidiki pertanyaan ini. Jawabannya tidak sesederhana hitam dan putih. Kemampuan seseorang untuk pulih dari kerusakan otak—atau bahkan hidup tanpa sebagian dari otaknya—sangat bergantung pada banyak faktor: bagian otak mana yang terdampak, penyebab kerusakannya, hingga usia saat mengalami kerusakan tersebut.
Namun, sejauh mana otak manusia bisa hilang tanpa menghilangkan fungsi normalnya bisa jadi sangat mengejutkan.
Hidup Normal dengan Otak yang Tidak Biasa
Ambil contoh kasus EG, seorang perempuan yang hanya dikenal melalui inisialnya demi menjaga privasi.
Saat menjalani pemindaian medis rutin, EG menemukan bahwa ia tidak memiliki lobus temporal kiri—sebuah bagian besar otak yang terletak dekat telinga dan berperan penting dalam pemrosesan suara, memori, dan bahasa. Dokter menduga kondisi ini disebabkan oleh kista yang muncul sejak masa kecil dan merusak jaringan otaknya.
Meski kehilangan sebagian besar lobus otaknya, EG hidup seperti orang kebanyakan. Meskipun lobus temporal kiri umumnya menjadi pusat pengolahan bahasa, EG mampu membaca dengan baik, memiliki kosa kata di atas rata-rata, dan bahkan fasih berbicara bahasa Rusia sebagai bahasa kedua.
Baca Juga: Benarkah Mengerjakan Teka-Teki Silang Bisa Tingkatkan Ketajaman Otak?
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR