Nationalgeographic.co.id - Di wilayah perbatasan yang menjadi sengketa, berdiri sebuah kerajaan. Usia kerajaan ini tergolong muda, tetapi mereka memiliki kepercayaan kuno, buah dari kekacauan yang timbul saat keruntuhan Uni Soviet.
Orang-orang dari kerajaan ini dikenal sebagai Seto, etnis pribumi minoritas dari beberapa penduduk Setomaa, daerah kecil yang terletak di antara bagian tenggara Estonia dan barat laut Rusia.
Para Seto telah berjuang keras mempertahankan tradisi mereka selama berabad-abad. Termasuk nyanyian polifonik kuno mereka, beberapa tahun lalu diakui sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda UNESCO.
Baca Juga : Tanpa Sengaja, Ditemukan Tabel Periodik Kimia Tertua Berusia 140 Tahun
Di sisi lain, mereka juga telah membentuk tradisi yang sepenuhnya baru, lengkap dengan kesetiaan mereka sendiri, untuk mencegah ancaman modern terhadap identitas budaya mereka.
Ancaman terbesar saat ini adalah perbatasan antara Rusia dan Estonia yang memecah persebaran orang-orang Seto. Perbatasan itu telah bergeser beberapa kali dalam rentang 20 abad.
Pada pertengahan 1990-an, Estonia telah menikmati kemerdekaan dari Soviet. Perbatasan itu bukan hanya membagi Setomaa menjadi sisi Rusia dan Estonia, tetapi juga membagi kaum Seto yang satu dengan yang lainnya. Mereka membagi lahan pertanian, gereja dan permakaman.
“Perbatasan hadir dan menghancurkan kehidupan sehari-hari mereka,” ujar Elena Nikiforova, peneliti dari Center for Independent Social Research di St. Petersbug.
Baca Juga : Studi Terlama Dalam Sejarah, Rencana Selesai Pada Tahun 2514
Perbatasan itu, masih menurut Nikiforova, memicu para Seto untuk berpikir bahwa mereka sebagai bagian yang berbeda—dari Rusia atau pun Estonia. “Menjadi tersisih akibat perbatasan, membuat mereka bersatu,” katanya.
Karena tidak dapat mengubah arah kebijakan luar negeri dan terpecah antara dua negara, akhirnya kaum Seto mendeklarasikan diri mereka sebagai entitas bersatu: Kerajaan Setomaa.