Dipanagara, Lelaki Ningrat yang Gemar Blusukan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Februari 2019 | 10:50 WIB
Wayang Dipanagara karya Ledjar Subroto yang dipentaskan di Galeri Nasional Jakarta , Juni 2012. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Nationalgeographic.co.id - “Mudah-mudahan Anda tidak lahir di zaman yang menarik,” ungkap Peter Brian Ramsay Carey yang mengutip sebuah pepatah Cina. Menurut salah seorang sejarawan terkemuka asal Inggris itu, zaman yang menarik membawa banyak gangguan, penderitaan dan tragedi. “Namun, Dipanagara lahir di zaman yang menarik,” tuturnya. “Dia lahir dalam suatu masa revolusi yang sangat cepat dan membawa perubahan besar di Jawa.” 

Suatu hal yang mengherankannya, sedikit orang Indonesia yang tertarik meneliti dan menulis sejarah seputar abad ke-18 dan awal abad ke-19. Padahal jelas, demikian menurut Carey, itulah masa-masa terpenting yang melukiskan peralihan dari era daulat VOC yang longgar menuju permulaan era penjajahan yang sejati.

Lingkungan petani dan ulama desa di Tegalrejo, juga pengalaman pendidikan di pesantren pinggiran Yogyakarta, turut membentuk pribadi Dipanagara kelak dalam mengobarkan Perang Jawa (20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830). Betapa Sang Pangeran mampu menyihir para bangsawan, petani, dan santri untuk berjuang bersama. “Jika kita lihat penggede dalam sejarah Jawa,” kata Carey, “dari Erlangga, Joko Tingkir, Ki Pamanahan, dan Senopati, sampai Dipanagara, semua lahir dan dibesarkan di areal desa. Mereka bersentuhan sekali dengan rakyat.”

Baca Juga : Morandi, Pria yang Hidup Sendiri Selama 29 Tahun di Pulau 'Surga'

Meskipun seorang ningrat, Dipanagara tampaknya tidak mewakili sosok gila hormat dan tidak pula berjarak dengan rakyat. Hubungan yang sehat antara pemimpin dan kawula biasa terungkap dalam babad karyanya yang berkisah tatkala Sang Pangeran berkunjung ke tanah miliknya di pesisir selatan. Dalam lawatan itu dia selalu bersama rakyat atau pengawalnya supaya mereka bisa bersama-sama turun ke sawah untuk memanen padi.

Seorang pemeran menari sebagai Dipanagara dalam pembacaan dramatik Babad Dipanagara. (Budi ND Dharmawan)

Selain itu, Jauh sebelum pecahnya Perang Jawa, Sang Pangeran juga kerap melakukan perjalanan tanpa naik kuda dengan menyamar sebagai rakyat jelata, seperti kala mencari anak sulungya yang tengah belajar di pesantren milik Kyai Maja di Delanggu—jaraknya sekitar 70 kilometer dari Tegalrejo. Atau, tatkala dia melakukan perjalanan sendiri saat ziarah ke Pantai Selatan dan gua-gua di pelosok Yogyakarta. “Itu mungkin mencerminkan realitas sekarang,” kata Carey. “Blusukan pemimpin.”

Mengapa Perang Jawa harus terjadi? Selain jumlah korban dan pembiayaan yang fantastis, mengapa Perang Jawa merupakan pertempuran terdahsyat dalam sejarah Hindia Belanda? Benarkah Dipanagara menyerukan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Jawa? Bagaimanakah organisasi dan seragam militer Laskar Dipanagara versus Serdadu Hindia Belanda Timur? Bagaimanakah nasib wangsa Dipanagaran di Jawa?

Baca Juga : Filofobia, Ketika Seseorang Takut untuk Mencintai dan Dicintai

Simak kisahnya dalam National Geographic edisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.