Nationalgeographic.co.id - Di suatu siang pada akhir April, mobil kami melintasi Nanggulan, Kulonprogo, sisi barat Yogyakarta. Desa ini memiliki persawahan bak hamparan permadani dan jalan-jalan desa yang beraspal rapi. Kami tengah mencari satu-satunya makam seradu Belanda yang masih tersisa di Nanggulan. Serdadu itu tewas pada salah satu pertempuran Perang Jawa (1825-1830).
Kawasan barat Kali Progo—termasuk Nanggulan—merupakan basis kekuatan Dipanagara, sekaligus medan kecamuk Perang Jawa. Tatkala musim hujan pada 1828, kawasan ini lepas dari kekuatan laskar Dipanagara. Di Nanggulan, Belanda pernah mendirikan benteng medan-tempur darurat yang berukuran besar, kapasitasnya sekitar 220 serdadu. Pertahanan Nanggulan diperkuat dengan 400 serdadu infantri dan 40 pasukan kavaleri ringan.
Baca Juga : Dari Editor: Hikayat Pelantar Tanjungpinang
Makam serdadu malang itu berdiri tegak di sudut permakaman desa. Keadaannya terselubung semak. Batu bata dan batu nisannya pun melapuk dirambahi lumut. Kami membersihkan rerumputan dan tanah yang menggerayangi prasasti dengan sabit kecil. Sayangnya, untaian huruf dalam prasasti itu memang sulit terbaca. Nama serdadu yang malang itu adalah Kapten Hermanus Volkers van Ingen.
Lebih dari 150 tahun selepas Perang Jawa, seorang peneliti menemukan catatan harian Kapten Errembault de Dudzeele et d’Orroir di pasar loak tepian Seine, Prancis. Kini, buku harian yang sarat gambaran sejarah itu tersimpan di perpustakaan Ecole Française d'Extrême-Orient, Paris, Prancis.
Errembault merupakan seorang serdadu pasukan gerak cepat Belanda yang bertempur selama Perang Jawa. Buku hariannya telah mengungkap prahara yang menimpa Ingen. Dalam catatan harian itu dia mengisahkan Kapten Van Ingen berangkat bersama seratus serdadu infanteri untuk menghadang laskar Dipanagara di sekitar Nanggulan.
“Saya tidak tahu bagaimana dia [Van Ingen] memerankan dirinya sebagai komandan detasemen,” tulis Errembault dalam catatan hariannya. “Tetapi, dalam laporan [pejabat militer], dia dikatakan menjadi penyebab kemalangan sendiri.”
“Kapten Van Ingen dan 32 serdadu Eropa tewas dalam pertempuran,” tulis Errembault. Lalu dia melanjutkan, “juga seorang pangeran Yogyakarta yang telah meninggalkan para pemberontak dan telah mengabdi pada pihak kami selama setahun terakhir—bersama 12 prajuritnya. Sejumlah empat belas orang turut terluka. Kedua meriam milik detasemen berhasil jatuh ke tangan musuh, namun hal itu tidak berlangsung lama.”
Demikianlah kisah akhir nan tragis Van Ingen pada 28 Desember 1828.
Bagaimana dengan nasib janda yang ditinggalkannya? Kala tengah malam dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Magelang, Errembault berjumpa dengan janda Van Ingen yang tampak masih bersedih. “Sejatinya, ratapannya telah melelehkan air mata saya,” tulisnya. “Saya menghiburnya sebisa mungkin, mengatakan bahwa ini adalah nasib setiap wanita yang memiliki suami militer.”
“Nyonya Van Ingen pergi ke Salatiga untuk tinggal dengan salah satu teman sampai dia memutuskan untuk tinggal di suatu tempat,” lanjut Errembault. “Mungkin dia akan menjadi seperti banyak janda lainnya di Hindia, segera melupakan almarhum suaminya dan mendapatkan suami lain.”
Dalam kesempatan lain, saya bertanya kepada Peter Brian Ramsay Carey mengenai pertempuran tak seimbang dan makam Van Ingen. Carey merupakan salah satu sejarawan Inggris terkemuka yang mengabdikan sepanjang hayatnya untuk menyelisik sosok Pangeran Dipanagara. Pernah mengajar di University of Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris Raya. Kini dia menjadi Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Kendati demikian, budaya lisan warga Nanggulan meyakini gundukan tanah di samping makam sang kapten itu merupakan makam kuda tunggangannya. Tampaknya, catatan harian Errembault dan penjelasan Carey telah menyingkap misteri makam Kapten Van Ingen: Meluruskan anggapan bahwa Sang Kapten itu dikebumikan bersebelahan dengan anjing kesayangannya—bukan kuda.
Simak “Kisah Tragis Sang Pangeran dan Gelora Perang Jawa” dalam majalah National Geographic edisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan peta pergerakan terakhir laskarnya di Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR