Sang Sultan dan Tamansari dalam Catatan Perempuan Eropa Abad Ke-19

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 16 Februari 2019 | 12:30 WIB
Pulo Kenanga dalam kompleks Tamansari, Keraton Yogyakarta, sebelum gempa bumi besar pada 1867. (Geschiedenis van Nederlands Indie)
 
 
 
Nationalgeographic.co.id - “Barangkali inilah satu-satunya di dunia,” ungkap Ida Laura Reyer Pfeiffer, “Anda bisa menyaksikan istri dan putri-putri Sultan yang muslim, berdansa dalam pelukan para lelaki Eropa.”

“Bangunan itu dirancang oleh para arsitek Portugis pada 1754.”

Wisma Residen di Yogyakarta, pada masa kolonial warga menyebutnya dengan Loji Kebon. (Litografi berdasar lukisan cat air karya Jhr. Josias Cornelis)
 
Sebelum berkunjung ke Keraton, Ida berkesempatan menemui Residen Yogyakarta di Wisma Residen yang juga berlokasi di jantung kota itu. Tampaknya Ida punya kesan tersendiri tentang bangunan wisma itu. “Saya belum pernah melihat sebelumnya,” ujarnya. “Saya sangat menyukai bangunan yang tampaknya dibangun sebagai penghormatan untuk orang Eropa.

Ida juga mencatat Sultan kerap mengadakan pertemuan tak resmi bersama orang-orang Eropa di wisma residen, rumah orang Eropa lainnya, atau di klub sosialita. Di tempat terakhir itu “Dia [Sultan] kerap bermain kartu atau biliar, juga hiburan ala Eropa yang kerap digelar di situ,” ungkapnya.

Mary Somers Heidhues, ahli sejarah politik dari University of Göttingen, menyingkap kiprah pelancong ini dalam Woman on the Road: Ida Pfeiffer in the Indies, terbit di jurnal Archipel pada 2004. “Seorang wanita mengitari dunia telah memberikan para pembaca muda sebuah kajian atau pemikiran, sementara perempuan lain di Hindia masih sangat terbatas dalam gerakan mereka,” tulisnya dalam jurnal tersebut. “Barangkali catatan perjalanannya kelak membangkitkan sebuah ‘imajinasi’ tentang Hindia, yang kemudian menjadi Indonesia.”

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage (1825–1883). (dolf Dauthage (1825–1883))

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu karya Litografi oleh Adolf Dauthage. Dia mengenakan penutup kepala dari Bali, yang lapisan dalamnya berupa daun pisang. Dia juga tetap memakai gaun, namun di atas pantalon pendeknya. Ketika perjalanan hujan, menunggang kuda, belum lagi ketika menyeberang sungai, gaun panjang bisa menjadi bencana. Ida membawa jaring dan wadah berselempang untuk spesimen serangga.

Kisah tentang Ida Pfeiffer ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida yang terbit di London pada 1855.

Tahun ini, tepat 164 tahun silam, catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfieffer pertama kali diterbitkan di Wina, yang berjudul Reise einer Wienerin in das Heilige Land (Perjalanan Seorang Perempuan Wina ke Tanah Suci). Untuk mengenang penerbitan tersebut, web National Geographic Indonesia mengisahkan kembali serangkaian petualangannya tatkala dia berjejak di Hindia Belanda.