Kasus Keracunan Makanan Akan Meningkat Akibat Perubahan Iklim

By Gita Laras Widyaningrum, Rabu, 20 Februari 2019 | 10:30 WIB
Populasi lalat meningkat akibat perubahan iklim sehingga menambah kasus keracunan makanan. (reyborfrla/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Menurut sebuah studi terbaru, kasus keracunan makanan akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu global yang membawa kawanan lalat penyebar penyakit.

Jika emisi gas rumah kaca berlanjut pada tahap seperti sekarang, maka populasi lalat diprediksikan akan berlipat ganda atau bahkan tiga kali lipat dalam beberapa dekade mendatang. Ini terjadi karena suhu yang lebih hangat menciptakan kondisi sempurna untuk serangga.

Baca Juga : Perubahan Iklim Akan Mengubah Warna Lautan, Bagaimana Prosesnya?

Dalam sebuah studi terbaru, ilmuwan Kanada menemukan fakta bahwa akibat perubahan iklim, penyakit yang ditularkan lalat menjadi lebih umum di kalangan masyarakat.

Bakteri Campylobacter merupakan salah satu penyebab keracunan makanan di seluruh dunia dan biasanya menyebarkan penyakit dengan mencemari daging.

Karena fluktuasi penyebaran penyakit terjadi seiring banyaknya jumlah lalat di musim panas, maka serangga tersebut dianggap sebagai penghubung utama dalam penularannya.

Mikrob telah ditemukan hidup di lalat dan diduga pindah ke makanan yang dikonsumsi manusia saat serangga berdengung itu mencari makan.

"Serangga sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Mereka berkembang di suhu yang lebih hangat," kata Melanie Cousins, mahasiswa PhD yang meneliti hal ini sebagai tesisnya di University of Guelph. 

"Ketika suhu menghangat, telur lalat menetas dengan lebih cepat sehingga populasinya semakin banyak. Oleh karena itu, dengan adanya kenaikan suhu global yang mengarahkan pada musim lebih hangat, lalat justru mendapatkan keuntungan," imbuh Cousins. 

Baca Juga : Akibat Perubahan Iklim, Korea Selatan Justru Bisa Panen Pisang

Dan sekali lagi, di bawah tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi, peningkatan populasi dan aktivitas lalat dapat menggandakan kasus keracunan makanan Campylobacter pada tahun 2080.

Hasil studi peneliti dipublikasikan pada jurnal Royal Society Open Science.