Milaya, Kain Indah yang Tersisa dari Kekejaman Perang di Sudan Selatan

By Rahmad Azhar Hutomo, Rabu, 27 Februari 2019 | 09:44 WIB
Irene Sonia berpose di depan milaya, atau seprai salah satu dari beberapa benda yang berhasil dibawa oleh ibunya ketika mereka mengungsi dari Sudan Selatan ke Uganda. (Nora Lorek)

Nationalgeographic.co.id - Bagi pengungsi, terkadang hanya selembar seprai yang tersisa dari kampung halaman mereka.

Saat perang, ratusan ribu penduduk Sudan Selatan meninggalkan rumah, membawa apa yang bisa dibawa.

Viola Kide, 22 (tengah), berjalan kaki dari rumahnya di Sudan Selatan menuju perbatasan Uganda, membawa milaya dalam perjalanan dua pekan. Dia tidak tahu apakah ibu, ayah, dan saudara-saudaranya berhasil kabur. (Nora Lorek)

Pada hari pertama di tempat penampungan pengungsi Sudan Selatan di Bidibidi, Uganda, yang dihuni oleh sekitar 300.000 jiwa, fotografer berdarah Swedia-Jerman, Nora Lorek, mendekati pendatang baru dan menanyakan apa yang dibawanya dari rumah. “Tak ada,” jawab wanita itu, “hanya beberapa helai pakaian dibungkus seprai.” Lorek mencatat di notesnya, “seprai???”

Baca Juga : Pindah Agama, Perempuan Sudan Dapatkan Vonis Mati

Angelina Nyakum, 27, dan putrinya. (Nora Lorek)

Pada 2011, Sudan Selatan menjadi negara terbaru di dunia. Pada 2013, perang saudara meledak.

Saat gencatan senjata gagal pada 2016, pengungsi menyeberangi perbatasan menuju Uganda untuk bekerja, bertani, dan bersekolah. Bagi sebagian orang, ini adalah kali kedua, ketiga, atau keempat mereka kabur dari rumah.

Pada Agustus 2017, jutaan pengungsi menyambut kebaikan hati negara tetangga mereka.

Esther Minella, 46, mewakili dewan wilayah. (Nora Lorek)

Saat Lorek meminta penjelasan tentang seprai, penghuni Bidibidi mengeluarkan 'milaya' mereka: yakni, kain berhias sulaman burung, bunga, dan pola cantik.

Para wanita itu mempelajari cara membuatnya dari ibu dan nenek mereka. Kain-kain itu dijadikan penutup kasur, digantung di dinding, kerap dijadikan maskawin.