Target Dubai Yang Bernyali

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 16 Maret 2019 | 11:00 WIB
Wisatawan berbondong-bondong ke Burj Khalifa, gedung pencakar langit tertinggi di dunia dengan tinggi 828 meter, untuk mendapatkan pemandangan panorama ini. (Luca Locatelli)

Nationalgeographic.co.id - Untuk menyaksikan keberanian Dubai, hutan beton, kaca, dan baja yang tumbuh pesat selama tiga dekade terakhir di gurun Arab yang sangat panas, Anda bisa memulainya dengan bermain ski. Dari luar Mall of the Emirates, arena bermain ski ini terlihat seperti pesawat luar angkasa yang menancap ke tanah. Di dalam mal, Anda bisa melihat-lihat aneka barang di butik sebelum memasuki pintu kaca Ski Dubai.

Cendera mata kaus oblong yang saya beli bergambar kartun termometer Celsius dengan tulisan “Saya turun dari +50 ke -8.” Sebenarnya suhu di arena tidak terasa sedingin itu, tetapi suhu luar ruangan di Dubai bisa mendekati 50° C saat musim panas. Tingkat kelembapannya sangat menyesakkan karena lokasinya dekat ke laut. Apalagi hujan jarang sekali turun; curah hujan di Dubai kurang dari 100 milimeter per tahun. Tidak ada sungai yang permanen.

Baca Juga : Bukan Cuma Unta, Ini Aneka Satwa yang Bisa Dijumpai Saat Liburan di Dubai

Jadi, permukiman manusia seperti apa yang ada di tempat seperti ini? Selama berabad-abad, Dubai merupakan perkampungan nelayan dan pelabuhan dagang yang kecil dan miskin. Kemudian, minyak bumi dan perkembangan pesat bisnis real estat akhirnya mengubah Dubai menjadi kota yang memamerkan berbagai keajaiban arsitektur yang menjulang tinggi serta bandara tersibuk ketiga di dunia.

“Dari sudut pandang keberlanjutan, mungkin hal yang sulit untuk mewujudkannya di sini,” ujar Janus Rostock, seorang arsitek terkemuka yang didatangkan dari Kopenhagen.

Namun, kota yang berkelanjutan justru menjadi tujuan yang dicanangkan pemerintah Dubai sekarang.

Berkelanjutan? Dubai? Mungkin terdengar mustahil. Perkembangan pesat perekonomian selama bertahun-tahun telah menjadikan kota ini sebagai cerminan dari ekses yang dihasilkan ketika energi murah berpadu dengan ketidakpedulian pada lingkungan. Ski dalam ruang hanyalah sebuah simbol: Dubai membakar lebih banyak bahan bakar fosil untuk mendinginkan ruangan menara-menara kacanya.

Untuk memenuhi kebutuhan air leding di semua gedung itu, Dubai setiap hari harus mendidihkan air laut kira-kira sebanyak ratusan kolam renang Olimpiade. Untuk menyediakan lebih banyak lahan pantai untuk hotel dan vila mewah, Dubai telah mengubur banyak terumbu karang di bawah sejumlah pulau buatan berukuran sangat besar.

Dubai memamerkan kehebatannya. Di Green Planet, para pengunjung berjalan mengelilingi pohon buatan setinggi 25 meter—yang diklaim sebagai yang terbesar di dunia di habitat hutan hujan yang dihuni oleh 3.000 spesies flora dan fauna. Kubah bio ini merupakan salah satu “gedung hijau” yang semakin banyak di kota ini, yang memenuhi standar tinggi efisiensi energi. (Luca Locatelli)

Pada 2006, organisasi World Wildlife Fund (WWF) menyatakan Uni Emirat Arab sebagai negara dengan jejak ekologis terbesar per kapita, yang sebagian besar diakibatkan oleh emisi karbon. Pernyataan ini sangat tepat untuk Dubai. Satu dekade kemudian, populasi Dubai berlipat ganda menjadi lebih dari 2,8 juta jiwa. Namun, hal lain juga terjadi sejak 2006: Dubai mulai berubah.

Kini, kereta metro mengilap tanpa masinis melaju di samping Jalan Raya Sheikh Zayed. Kawasan perumahan baru, Sustainable City, mendaur ulang air dan limbahnya, serta menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi.

Di gurun pasir, Dubai sedang membangun pembangkit listrik tenaga surya raksasa. “Para pemimpin Dubai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa berkelanjutan tanpa penanganan masalah emisi,” ujar Tanzeed Alam, direktur iklim dan energi Emirates Wildlife Society, mitra lokal WWF.