Kesaksian Perwira VOC Ketika Prahara 1740 di Tangerang

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 22 April 2019 | 10:36 WIB
Pemandangan Fort Tangerang yang dilukis oleh Johannes Rach, seniman asal Denmark yang bertugas di VOC. (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Benteng VOC dibawah komando Schröder menembakkan meriam dengan kekuatan penuh sehingga membuyarkan para pemberontak dan meninggalkan mereka bergelimpangan di tanah.

Gustaaf Willem Baron von Imhoff, yang saat itu menjabat sebagai Dewan Hindia, turut memerangi pemberontak di pinggiran Batavia, baik siang maupun malam.Schröder juga mengungkapkan bahwa Imhoff juga menyediakan ternaknya untuk disembelih dan memasok anggur untuk mencukupi kebutuhan logistik serdadunya. Kelak, dia mengelak keterlibatan dalam pembantaian itu, dan menggantikan Valckeneir sebagai Gubernur Jenderal VOC.

Peta Kota Batavia yang diterbitkan oleh Homannischen Erben pada 1733. Tangerang berada di kawasan paling barat pada peta ini. (Rijksmuseum Amsterdam/Atlas of Mutual Heritage)

Mengapa orang-orang Cina memberontak?

Salah satu sebabnya, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka. Alasannya, di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas. Sebab lainnya, VOC menganggap komunitas Cina mulai mendominasi perekonomian dengan menjamurnya pengolahan gula tebu di pinggiran Batavia.

Komunitas Cina di pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk melakukan pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga Cina dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa tempat, seperti Meester Cornelis—kini Jatinegara—telah dikuasai pemberontak Cina.

“Keegoisan dan keserakahan Gubernur Jenderal Valckenier,” demikian tuduhan Schröder tentang sosok yang bertanggung jawab atas kebiadaban di Batavia.

Mary Somers Heidhues mengungkapkan kisah Schröder dalam “1740 and the Chinese Massacre in Batavia: Some German Eyewitness Accounts” dalam jurnal Archipel nomor 77 yang terbit pada 2009. Dia merupakan ahli sejarah asal Jerman, yang berminat dalam penelitian orang-orang Cina di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kediaman Baron von Imhoff, yang dibangun pada 1730-an. Satu-satunya bangunan di Kalibesar Barat yang (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Kisah Schröder “memberikan detail menarik yang belum tentu ditemukan dalam sumber-sumber lainnya,” ungkap Mary.

Baca Juga : Jawa: Lumbung Padi dari Timur dan Pengekspor Permen Jahe Abad Ke-18

Mary mengutip sumber resmi yang menyebutkan terdapat 4.386 orang Cina di dalam tembok kota Batavia pada 1739. Sementara itu sejumlah 10.574 orang Cina yang bermukim di pinggiran Batavia. “Diperkirakan 10.000 Cina mati di tangan Belanda dan sebagian oleh pasukan pribumi,” ungkapnya.

Seluruh pasukan VOC di pinggiran Batavia ditarik pada awal musim hujan, November 1740. Sementara para pemberontak menyingkir ke arah timur.  Mary melanjutkan, para pemberontak berhasil berkumpul kembali dan memberikan perlawanan terhadap Belanda hingga ke pantai utara Jawa. Para pemberontak Cina mengancam kedudukan VOC di Rembang, Jepara, dan Semarang, dan segera menyulut keterlibatan dengan penguasa Jawa, Mataram.

Kisah Schröder “memberikan detail menarik yang belum tentu ditemukan dalam sumber-sumber lainnya,” ungkap Mary. Peristiwa Oktober 1740 merupakan “tragedi mengerikan yang dilakukan oleh kekuasaan kolonial yang lemah dan korup terhadap rakyatnya sendiri.”

Fort Tangerang karya Heydt Johann Wolfgang pada 1744, empat tahun usai pecahnya pemberontakan orang- (Mahandis Yoanata Thamrin)