Cukup panjang kisah masuknya orang Cina di Madura, hal ini memungkinkan adanya pertukaran budaya, saling serap dan saling bertoleransi ada orang Madura dan orang Cina. Ketika saya melakukan perjalanan ke Bangkalan pada bulan Oktober tahun 2018 silam, saya berkesempatan untuk tinggal beberapa hari di Desa Labuhan. Itu kali pertama saya menjejak kaki di Madura!
Sedari dulu saya hanya mendengar dan membaca tentang pengaruh Cina di Madura seperti batik, arsitektur dan Sumenep - kota yang memiliki ikon Keraton dan Masjid Jami yang konon dirancang oleh arsitek keturunan Cina pada abad 18 dan dibangun bersama-sama dengan masyarakat muslim Sumenep.
Sejatinya, Madura memiliki sejarah panjang dengan berlapis kebudayaan. Madura pernah berada di bawah kerajaan Hindu Kediri (1042-1222), Singhasari (1222-1292), Majapahit (1293-1500). Nama dan asal usul Madura pun tercatat dalam Negarakertagama (1365) karangan Empu Prapanca yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit pun menunjukkan bahwa daratan Madura menjadi satu dengan Pulau Jawa.
Saking ramainya Jalur Sutera Maritim dan Jalur Rempah di kawasan timur Nusantara, Madura juga menjadi tempat singgah kapal-kapal dagang Arab, Cina dan lainnya sampai kemudian bangsa Eropa datang berburu rempah-rempah. Tak heran, banyak bentuk akulturasi budaya yang membentuk identitas Madura dan masyarakatnya saat ini.
Saya menyusuri garis pantai hampir sepanjang 2 kilometer yang menghubungkan dua desa yaitu Labuhan dan Masaran. Saya sempat berpapasan dua orang warga yan baru saja menebar jaring tradisional di pantai dan membawa tangkapan lobster segar berukuran besar.
Tak lama berjalan, mata saya tertumbuk pada beberapa rumah tradisional dengan desain arsitektur yang unik. Salah satu rumah yang saya jumpai berupa rumah mungil berukuran lebar 4 meter dan panjang hanya sekitar 7 meter dengan atap pelana dengan hiasan pada ujung bubungan atap seolah tampak pengaruh Cina pada bubungannya.
Baca Juga : Tenun dan Batik Lukis Mengagumkan ala Warga Tuli-Bisu Desa Bengkala
Ada varian lain rumah yang cukup lebar dengan lebar sekitar 8 meter dan panjang sampai 15 meter. Semua rumah-rumah tersebut menghadap ke arah utara berhadapan dengan pantai. Langgamnya tampak seperti paduan antara Cina, Madura, Jawa, bahkan bernafas Majapahitan.Tak heran, Madura memiliki sejarah panjang.
Perhatian saya tertuju pada ukiran gebyok depan rumah tersebut. Ukiran ragam hias bunga, sulur, dedaunan khas ragam hias Jawa menghiasi pinggiran pintu dan gebyok kayu. Menariknya, terdapat motif swastika alias ‘banji’- (Wan Zi dalam Bahasa Mandarin) yang artinya sepuluh ribu – di setiap rumah-rumah itu. Seolah menjadi motif pakem, motif ‘banji’ menjadi motif utama yang menghiasi kanan kiri pintu utama rumah-rumah yang disebut “Bheley” dan berdinding anyaman bambu ‘tabing’ itu.
Motif ‘banji’ pun tersemai bersama motif Cina lainnya di barang-barang rumah tangga seperti ranjang, daun pintu dan jendela, kotak penyimpanan keris, dan peti angkut upeti kuna. Terbanyak motif Cina peranakan terdapat pada ranjang-ranjang khas berukuran sekitar 1,5x2 meter dengan atap tepi dan atap ranjang berukir motif ‘pakem’nya yaitu sepasang kilin, singa, burung hong, naga, tepian banji, serta bunga teratai. Kilin merupakan symbol panjang umur, kebijaksanaan, kebahagiaan, dan harapan memiliki keturunan yang baik; singa merupakan mahluk penjaga dan pelindung; burung hong dan naga ada simbol yin-yang bersatunya wanita dan pria; tepian banji adalah simbol kesejahteraan; teratai simbol kesucian.
Banji, sejatinya adalah ragam hias swastika dalam kebudayaan Hinduisme dan Budhisme yang kemudian menjadi salah satu motif ragam hias dalam kebudayaan Cina. Banji telah digunakan oleh masyarakat Kebudayaan Indus Mohenja Daro (2.500 – 1.500 SM) sebagai lambang keberuntungan.