Perubahan Iklim, Penyebab Utama Runtuhnya Kota Pertama di Amerika

By Gita Laras Widyaningrum, Jumat, 22 Maret 2019 | 08:30 WIB
Situs bersejarah Cahokia yang merupakan kota pertama di Amerika. (JByard/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Kota pertama di Amerika–sebuah kosmopolitan metropolis yang dibangun di tepi sungai Mississippi sekitar 600 A.D–dulunya merupakan rumah bagi sepuluh ribu orang. Ia membentang sekitar enam mil persegi dengan pusat perkumpulan, alin-alun publik, dan 120 gundukan tanah buatan manusia yang digunakan untuk melaksanakan ritual pengorbanan manusia dan pemakaman massal.

Kota yang bernama Cahokia tersebut, berkembang dengan kecepatan stabil selama 400 tahun pertama. Namun, sekitar 1050 dan 1100 A.D, jumlah populasinya meledak hingga mencapai 20 ribu orang.

Keadaan ini tidak berlangsung terlalu lama. Dua abad kemudian, populasi mereka mulai menurun hingga akhirnya benar-benar ditinggalkan pada tahun 1400.

Baca Juga : 140 Kerangka Ditemukan, Bukti Ritual Pengorbanan Anak-anak Terbesar di Dunia

Apa yang menjadi penyebab runtuhnya peradaban Cahokia belum diketahui, meski ada beberapa dugaan. Para peneliti berpendapat, tanah di kota tersebut mungkin sudah digunakan secara berlebihan sehingga tidak dapat lagi ditanami tumbuhan. Pada akhirnya, itu tidak cukup untuk memberi makan populasi yang semakin berkembang.

Gagasan lainnya meliputi tersebarnya penyakit, kekeringan, banjir, hingga masalah politik dan sosial.

Perubahan iklim

Kini, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan pada PNAS menyatakan bahwa perubahan iklim bisa menjadi salah satu faktor utama ditinggalkannya kota Cahokia.

Sekelompok ilmuwan pun meneliti hubungan antara jumlah populasi dan perubahan iklim di Cahokia.

Untuk memperkirakan ukuran populasi, mereka menganalisis sampel kotoran manusia yang ditemukan di danau terdekat. Meskipun sebagian besar orang-orang Cahokia buang air besar di daratan, tapi beberapa tinja berakhir di perairan di mana ia kemudian terperangkap dalam lapisan endapan. Inilah yang memungkinkan peneliti memperkirakan berapa banyak penduduk yang pernah tinggal di sana.

Seperti yang didapat dari studi dan bukti arkeologi sebelumnya, konsentrasi tinja menunjukkan bawah aktivitas manusia di wilayah tersebut mulai meningkat pada 600 A.D, dan mencapai puncaknya pada 1100 A.D.

Kemudian, pada 1200 A.D, jumlahnya menurun dan sekitar tahun 1400 para penduduk meninggalkan Cahokia.

Selanjutnya, para ilmuwan membandingkan informasi yang mereka dapat dengan studi lingkungan yang mengarah ke iklim wilayah selama periode tersebut.

Inti danau menunjukkan adanya bukti kekeringan dan banjir dengan curah hujan yang berkurang secara signifikan–bersamaan dengan penurunan populasi di Cahokia. Menurut para peneliti, iklim seperti itu berdampak pada kemampuan penduduk dalam menanam jagung sehingga memengaruhi produksi makanan.

Sekitar 1150 A.D, ada bukti banjir besar di sepanjang sungai Mississippi. Pada titik ini, tim melihat pergeseran signifikan dalam jumlah dan kepadatan rumah yang dibangun, juga produksi kerajinan tangan. Semua tanda tersebut menunjukkan ada semacam tekanan sosial atau politik yang mengarah ke ‘reorganisasi’.

Baca Juga : Manusia Prasejarah Bunuh Anjing Mereka Agar Bisa Bersama di Akhirat

Para peneliti mengatakan, kekeringan dan banjir menimbulkan tekanan besar bagi penduduk Cahokia. Hal ini kemudian diperparah dengan periode pemanasan yang dikenal dengan Anomali Iklim Abad Pertengahan di zaman es sekitar tahun 1300.

Mereka menambahkan, perubahan iklim memang pada akhirnya memberikan pengaruh besar pada masyarakat dan mengubah sosiopolitik sebuah wilayah.

“Budaya bisa sangat tangguh dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, ketahanan bukan berarti tidak menimbulkan perubahan. Mungkin di Cahokia terjadi reorganisasi budaya yang membuat mereka memutuskan untuk relokasi atau migrasi. Masyarakat modern pun juga pasti akan melakukan hal itu jika menghadapi masalah yang sama,” kata Sisses Schroeder, profesor antropologi dari University of Wisconsin-Madison yang terlibat dalam penelitan ini.