Perjalanan waktu dan pembangunan
Gemerlap emas yang melapisi dinding Dubai frame museum, menjadi simbol transisi Dubai lama dan Dubai baru. Kota ultramodern ini menjelma menjadi penghubung bagi bisnis dan pariwisata dunia. Peleburan budaya pun tak terhindarkan, menciptakan rasa unik yang ditawarkan kota ini.
Saya berjalan kaki memasuki pasar rempah di kota lama. Rasanya seperti berada dalam labirin yang tersusun dari bangunan-bangunan tua kota. Dalam labirin ini, saya berjalan seakan dalam zona waktu yang berbeda.
Sesaat, saya berada di kota dengan gemerlap lampu. Beberapa saat kemudian, saya memasuki kawasan pasar yang bertolak belakang dengan dunia modern.
Tanpa perlu pendongeng, kota ini menunjukkan bukti perjalanan waktu yang dialami oleh dubai.
Percakapan yang terjadi di sana sulit untuk saya mengerti. Bukan tanpa alasan, percampuran budaya membuat bahasa yang ada juga mengalami percampuran. Belum lagi logat dari masing-masing ras yang ada. Saya mendengar logat India, bercampur Arab, dan bahkan aksen Inggris dalam percakapan saat itu. Semuanya ada dalam satu lokasi.
Hari ini sekitar 92 persen penduduk Dubai adalah pekerja asing. Mereka hadir sejak awal proses geliat perubahan wajah Dubai. Bagi para pendatang, hukum izin tinggal yang ketat di jazirah Arab ini membuat Dubai tidak bisa menjadi tempat tinggal permanen mereka. Mereka hanya menetap untuk sementara.
Dengan arus keluar masuk manusia yang terjadi di Dubai, tidak heran jika kota ini mengalami "jahitan budaya" yang tidak pernah berhenti. Benang budaya tak henti-hentinya melebur mewarnai Dubai.
Sambil menikmati panna cotta dari ketinggian 422 meter di atas permukaan tanah (lantai 122) Burj Khalifa, saya bisa memandang ladang cahaya bak lukisan di bawah sana. Badan dan pikiran berusaha beradaptasi setelah siang tadi menelusuri hamparan gurun menikmati Dune Bashing—menjelajahi gurun dengan kendaraan berpenggerak empat roda yang dimodifikasi khusus untuk area pasir gurun.