“Salju itu berwarna merah dan kuning! Fenomena itu menimbulkan kehebohan karena ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.”
Kemurkaannya melahirkan bencana gunung api terburuk sepanjang ingatan manusia.
Sejumlah 12.000 orang yang menghuni sekitar gunung tersebut, hampir semuanya binasa dalam sehari karena terenggut abu dan aliran piroklastik—gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan padat dan cair.
Dampak letusan Tambora sungguh mahadahsyat dan mengglobal. Setahun setelah erupsi, Eropa dan juga Amerika bagian timur dilanda musim dingin yang berkepanjangan, dengan suhu dingin yang melebihi biasanya. Tambora telah mempengaruhi seisi planet ini—tanah, udara, dan samudra. Bencana ini membawa kegagalan besar dalam panen pangan dan ternak, mewabahnya penyakit tipus di beberapa negara Eropa, dan gejolak sosial pada 1816. Pasca Perang Napoleon, puluhan ribuan veteran didemobilisasi dan pada kenyataannya para veteran tidak mampu memberi makan keluarga mereka. Sebagian warga Eropa juga bertahan hidup dengan bermigrasi.
Baca Juga : Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?
Sebuah buku berjudul The Works and Correspondence of David Ricardo: Volume 7, Letters 1816-18, yang pertama kali terbit pada 1952, mengungkapklan kegelisahan seorang ekonom Inggris.
David Ricardo menulis surat kepada koleganya, Thomas Robert Malthus. Keduanya merupakan ekonom politik di Inggris. “Musim dingin dan cuaca basah yang berlanjut tidak memungkinkan bagi kita untuk mempunyai harapan baik untuk musim panen,” tulisnya. “Saya sangat khawatir bahwa warga miskin akan sangat menderita selama musim dingin tahun depan. Bahkan, saya tidak bisa berharap mereka tidak akan lama berlanjut tanpa bekerja.”
Warga Eropa dan Amerika timur merindukan musim panas. Dunia mengenang kecamuk musim dingin yang berkepanjangan itu sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas”—sebuah pelajaran berharga tentang hubungan gunung api dan perubahan cuaca.