Nationalgeographic.co.id - “Sebuah informasi penting dari fenomena alam yang menarik perhatian para pelukis sohor,” ungkap Christos S. Zerefos, “meskipun tampaknya sebagian besar dari mereka tidak tahu-menahu soal kejadian yang mereka amati.”
Zerefos merupakan seorang peneliti dari National Observatory of Athens, yang merangkap sebagai guru besar Academy of Athens di Yunani. Dia telah dikenal masyarakat ilmiah lewat berbagai studinya pada variabilitas lapisan ozon, stratosfer dan sinyal geofisika terkait dalam perspektif global.
Baca Juga : Enam Gunung Api yang Dipantau Para Ilmuwan di 2018, Merapi Salah Satunya
Bersama beberapa peneliti negeri para dewa itu, Zerefos menghubungkan antara lukisan para pelukis sohor dan suasana atmosfer akibat erupsi gunung api. Hasil penelitian mereka yang berjudul "Atmospheric effects of volcanic eruptions as seen by famous artists and depicted in their paintings" terbit dalam jurnal Atmospheric Chemistry and Physics pada 2007.
Dalam seni rupa, terdapat tiga warna primer: merah, hijau, dan biru. Dia mengukur derajat warna merah terhadap warna primer lainnya secara digital. Sampelnya, sejumlah 554 lukisan pemandangan karya 181 seniman dari abad ke-16 hingga akhir abad ke-19 yang menampilkan matahari terbenam. Sebagai dasar pijakan, dia membaginya menjadi dua: lukisan ketika ada kejadian erupsi dan lukisan ketika tidak ada kejadian erupsi.
Penelitian ini bertujuan memberikan pandangan baru terhadap kedalaman pengelihatan pada aerosol (Aerosol Optical Depth) selama dan setelah proses erupsi lewat studi pewarnaan dalam atmosfer, demikian menurut Zerefos.
Sampel lukisan dipadukan dengan peristiwa erupsi gunung berapi semasa. Beberapa catatan kegungungapian dalam periode pengamatan 400 tahun: Awu (Indonesia-1641), Katla (Eslandia-1660), Tongkoko & Krakatau (Indonesia-1680), Laki (Eslandia-1783), Tambora (Indonesia-1815), Babuyan (Filipina-1831), Coseguina (Nicaragua-1835), dan Krakatau (Indonesia-1883).
Lukisan yang dibuat dalam periode singkat setelah masa erupsi Tambora menunjukkan warna matahari terbenam yang lebih kuning, lebih merah atau lebih oranye. Warna tersebut disebabkan kandungan debu yang tebal dalam atmosfer. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa peristiwa yang sama juga direkam oleh para pelukis Eropa tatkala Krakatau bererupsi pada 1883.
“Bagaimanapun,” ungkap Zerefos, “kami yakin bahwa penelitian ini akan membentuk dasar
penelitian lebih lanjut untuk menghimpun informasi lingkungan lewat seni lukis.” Melalui mata pelukis dan seniman lainnya, dia berharap dapat memperoleh informasi tentang fenomena alam masa silam yang hingga kini luput dari perhatian para ilmuwan.
“Saya tidak melukis sesuatu supaya bisa dimengerti, tetapi saya berharap dapat menunjukkan seperti apa suasana saat itu.”
Gunung Tambora pernah memuntahkan material erupsi 55 juta ton berupa gas sulfur-dioksida sejauh 43 kilometer ke angkasa pada awal April 1815. Kemurkaannya melahirkan bencana gunung api terburuk sepanjang ingatan manusia—lebih mengerikan ketimbang letusan Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii di Italia pada abad pertama. Erupsi dahsyat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa inilah menjadi biangnya.
Baca Juga : Kasus Demam Berdarah Meningkat, Inilah 10 Provinsi dengan Kasus Tertinggi
Dampak letusan Tambora sungguh mahadahsyat dan mengglobal. Setahun setelah erupsi, Eropa dan juga Amerika bagian timur dilanda musim dingin yang berkepanjangan, dengan suhu dingin yang jauh lebih rendah ketimbang biasanya.
Zerefos mengakhiri paparannya dalam jurnal tersebut dengan mengutip pendapat salah satu pelukis sohor asal Inggris yang menggandrungi romantisme pemandangan, Joseph Mallord William Turner. “Saya tidak melukis sesuatu supaya bisa dimengerti, tetapi saya berharap dapat menunjukkan seperti apa suasana saat itu.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR