Santri-santri Bengal Zaman Kolonial

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 6 Mei 2019 | 20:19 WIB
Halaman dari Hikayat Abdullahyang ditulis dalam huruf Jawi, dari koleksi National Library Board, Singapura. Edisi ini ditulis antara tahun 1840-1843, menggunakan cetakan batu, kemudian diterbitkan pada 1849. (National Library Board, Singapura)

Nationalgeographic.co.id— “Apabila seorang melepaskan anaknya mengaji, maka datanglah ibu atau bapa budak yang akan mengaji itu dahulu menyembah guru...,” ungkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.

Kemudian Abdullah melanjutkan, orangtua akan membawakan sirih dan penganan bersama dengan anak yang hendak dititipkan untuk mengaji. Ketika menitipkan anaknya, bapak atau ibunya biasanya berkata kepada sang guru: “Tuan atau Enci, sahaya pinta dua perkara sahaja: pertama-tama biji mata budak ini dan kedua kaki tangannya jangan dipatahkan, maka lain daripada itu, enci’ punya suka.”

Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1796-1854) mengisahkan pengalamannya ketika bocah perihal permulaan belajar mengaji dalam autobiografinya yang berjudul “Hikayat Abdullah”. Naskah itu ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi sekitar 1840 dan 1843. Edisi cetak batunya dipublikasikan di Singapura oleh Mission Press pada 1849. Sejatinya, penggalan riwayat hidupnya itu ditulis atas permintaan seorang pendeta yang juga majikannya di Singapura. Dia mengaku juga sebagai juru tulis Thomas Stamford Raffles. Kata “munsyi” yang melekat pada namanya, merupakan sebutan lazim untuk seorang guru di Melayu. Sampai akhir hidupnya, Abdullah dikenal sebagai profesor munsyi di Singapura.

Baca juga: Studi: Menghargai Keberagaman Membawa Dampak Positif Bagi Kita

Halaman pertama (Kepustakaan Populer Gramedia, Perpustakaan Nasional)

Malahan, dia mengibaratkan muka sang guru lebih menyeramkan ketimbang muka harimau. “Mahulah aku memandang muka harimau daripada memandang muka guruku itu.”

“Ketika itu penuhlah dalam hatiku dengan benci dan amarah dan dengki akan orang yang mengajar aku itu. Maka, beberapa do’aku, mudah-mudahan kalau boleh segera ia mati, supaya tiada aku susah belajar...”

Abdullah juga mengungkapkan rasa suka citanya ketika sang guru mengaji jatuh sakit sehingga mengaji pun libur. Kadang dia mencari alasan sakit supaya bisa membolos, kendati hanya sakit ringan. Bermain layang-layang adalah tujuan pelariannya.

Namun tatkala dewasa, Abdullah baru menyadari betapa beruntungnya dia karena berkesempatan menempa diri belajar mengaji. Dalam “Hikayat Abdullah”, dia mengungkapkan bahwa bilur-bilur rotan di badannya  ibarat suluh perjalanan hidupnya. Sementara tamparan dari guru mengajinya menjadi cermin mata bagi masa depannya, demikian ungkap Abdullah. “Bahwa sekaranglah baharu aku kecap akan air madu yang telah terpancar daripada sarang lebah yang telah kuusahakan menunggu akan dia daripada zaman kecilku itu.”

Baca juga: Survei Membuktikan Orang yang Aktif Beragama Cenderung Lebih Bahagia

Guru mengaji dan santrinya sekitar akhir abad ke-19. (Tropenmuseum)

“Saya merasakan dicambuk di kaki, atau dipukul bagian tangan saat tidak hafal ayat Alquran,” tutur Yunaidi mengenang masa bocahnya di pedalaman Sumatra Barat pada akhir 1990-an.

“Benteng bahasa Melayu yang terkuat di dunia adalah di Indonesia,” ungkap Sweeney. “Menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara Indonesia menjamin masa depan serta kejayaan bahasa tersebut sebagai bahasa Indonesia.”

Kembali soal sosok Abdullah. Kesusastraan Melayu berkembang di Indonesia dan Malaysia. Laporan pandangan mata si penulis terhadap kenyataan sosial yang sungguh terjadi di masyarakat merupakan persembahan terbesar Abdullah bagi kesusastraan Melayu modern. Abdullah juga menggunakan sudut pandang orang pertama dalam mengisahkan riwayatnya, sesuatu hal yang membedakan dengan penulis-penulis sebelumnya.

Amin Sweeney menyunting “Hikayat Abdullah” dalam bukunya Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dia merupakan ahli bahasa Melayu keturunan Irlandia yang berkewarganegaraan Malaysia.

Sweeney mengungkapkan dengan gaya renyah tentang pemikirannya. “Dampak bahasa Munsyi Abdullah perlu diberi perhatian oleh siapa pun yang akan meneliti perkembangan sastra dan bahasa Indonesia,” tulisnya. Namun perihal “Hikayat Abdullah” sebagai autobiografi, Sweeney mewanti-wanti kita bahwa karya itu bukanlah buku harian Abdullah sehingga berhati-hatilah saat menjadikannya sebagai fakta sejarah.

Sweeney juga mengungkapkan bahwa Abdullah merupakan pencinta bahasa Melayu yang dibesarkan di Melaka. Namun demikian, ironisnya, bahasa Melayu kian terpojok di Malaysia.

“Benteng bahasa Melayu yang terkuat di dunia adalah di Indonesia,” ungkap Sweeney. “Menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara Indonesia menjamin masa depan serta kejayaan bahasa tersebut sebagai bahasa Indonesia.”

(Artikel ini pernah terbit dengan judul "Azab Santri Bengal Abad Ke-19" pada 26 Juli 2016)