Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 23 Mei 2019 | 07:00 WIB
Karl Marx dan "Das Capital" pada sebuah perangko Soviet, 1967. (alexkar08)

“Hukum, yang mengatur pembagian kerja di suatu masyarakat, bertindak dengan wewenang hukum alam.” Demikian ungkap Marx dalam Das Kapital pada bab keempat tentang pembagian kerja dan manufaktur dan pembagian kerja dalam masyarakat.

Menurutnya, pembagian kerja dalam manufaktur bersesuaian dengan kecenderungan dari berbagai masyarakat sebelumnya untuk menjadikan suatu pekerjaan atau keahlian yang diwariskan. Ia menambahkan bahwa bersamaan dengan bekerjanya sistem hukum, setiap individu yang memiliki kemampuan tertentu, tukang besi, tukang kayu, dan sebagainya, berkarya pada bidangnya. Pekerjaan-pekerjaan tradisional itu tampak berjalan mandiri, tanpa mengenal aturan yang mengikatnya.

Bangku dan meja di British Museum. Di sinilah para peneliti, pemikir, dan penulis membaca berjam-jam di meja yang beralas kulit. (Ceridwen/Wikimedia Commons)
 

“Kesederhanaan organisasi produksi pada komunitas mandiri yang terus-menerus mereproduksi dirinya dalam bentuk yang sama, dan bila tidak sengaja dihancurkan, muncul lagi di tempat dan dengan nama yang sama pula. Kesederhanaan ini memasok kunci rahasia dari ketidakteraturan masyarakat Asia, sebuah ketidakteraturan yang mencolok dari keruntuhan dan penyatuan yang ajeg negara-negara Asia, dan perubahan dinasti yang terus-menerus. Struktur elemen ekonomi masyarakat tetap tak tersentuh oleh awan badai di langit politik,” tulis Marx.

Marx tengah menggambarkan betapa sebuah perekonomian masyarakat yang sederhana mampu bergulir. Sampai pada pembahasan ini Mark menambahkan catatan kaki ke-38. Catatan itu berisi kutipan yang merujuk halaman 285 dari The History of Java karya Thomas Stamford Raffles yang terbit di London, 1817.

“Sudah sejak dahulu para penduduk daerah tersebut hidup di bawah pemerintahan kotapraja yang sederhana. Batas-batas desa bisa diubah, tetapi ini jarang terjadi. Meskipun para penduduk sendiri kadang terluka, dan bahkan didera perang, kelaparan, dan wabah penyakit; mereka tetap memiliki kesamaan nama, kesamaan batas, kesamaan kepentingan, dan bahkan kesamaan keluarga, tetap menjalani hidup bertahun-tahun. Para penduduk tidak membuat masalah dengan melepaskan diri dan membentuk kerajaan sendiri. Sementara para penduduk tinggal, mereka tidak peduli siapa yang memegang kekuasaan pemerintahan. Perekonomian internalnya hampir tidak berubah.”

Baca juga:

Rupanya, inilah perkara memalukan yang membuat History of Java tidak perlu disanjung dan dipuja layaknya karya bermutu ilmiah.

Raffles memahami bahwa hukum yang berlaku di desa-desa di Jawa berasal dari peradaban leluhur warganya. Namun demikian, sejatinya, untaian kata yang dikutip Marx tadi bukanlah buah pemikiran Raffles semata. Letnan Gubernur yang berkuasa di Jawa itu sekadar mengutip pernyataan dari narasumbernya atau seorang pengamat yang memberi laporan investigasi kepadanya. Boleh jadi, narasumber atau pelapor tadi memang orang Jawa.

Mungkin, inilah sumbangan kecil dari peradaban Jawa, yang meruaya ke benak Marx. Kelak, sumbangan peradaban itu diganjar dengan maraknya gerakan politik sosialisme-komunisme lewat perjuangan antarkelas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. 

Celakanya, Raffles nyaris tidak pernah mencantumkan nama narasumber atau pelapornya. Bahkan, dalam kasus lain, ia tidak ragu untuk menyalin beberapa larik kalimat dari sebuah buku tanpa menyebutkan kutipan atau rujukan sumber. Rupanya, inilah perkara memalukan yang membuat The History of Java tidak perlu disanjung dan dipuja layaknya karya bermutu ilmiah.

 
Batu nisan Karl Mark di Permakaman Highgate, London. (LWilk/Thinkstock)
 

London menjadi kota kenangan bagi Raffles dan Marx, kendati mereka tidak hidup semasa. Keduanya dimakamkan di kota yang sama, London. Raffles dimakamkan di permakaman Gereja St Mary di Hendon, sementara Marx dimakamkan di Highgate Cemetery.

Sayangnya, selama pembangunan kembali British Museum pada akhir 1990-an, ruangan baca tempat Marx merumuskan Das Kapital pun menjelma sebagai ruang pameran. Namun, ada yang lebih tragis lagi. Marx, yang mengkritik kapitalisme, tampaknya harus bersepakat dengan kapitalisme karena para pengunjung harus membayar sejumlah uang untuk sekadar menyaksikan batu nisannya.

Kembali ke persoalan penerbitan buku. The History of Java dirilis dalam dua bundel pada 10 Mei 1817 di London. Buku ini berisi tentang sejarah dan budaya di Jawa, yang dilengkapi statistik semasa. Setengah abad kemudian, Das Kapital terbit di Hamburg. Ketika buku yang "mengutuk" kaum pemilik modal ini beredar di seantero Eropa, kaum pemodal Hindia Belanda tengah berlega hati karena roda-roda kereta api mulai resmi menggelinding di Jawa.