Siapakah Miss Daventry, Perempuan dalam Pertempuran Surabaya 1945?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 28 Mei 2019 | 12:00 WIB
Foto suasana siang hari di kawasan Apotek Simpang, Surabaya, Jawa Timur. Foto oleh Fotax. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id— “Bohong semoea!” ungkap Miss Daventry. “Tidak ada extremist di Indonesia, jang dikendaki mereka semata2 kemerdekaan belaka. Tetapi orang Inggris dan NICA, mereka adalah extremist kelas satoe. Mereka telah soenggoeh telah keluar dari batas kemanoesiaan.”

Miss Daventry menepis tuduhan yang tersiar hingga ke luar negeri bahwa pihak Indonesia terlibat dalam aksi pembakaran kamp interniran di Ambarawa. Cetusan yang menyiratkan kegeraman itu dikutip oleh seorang jurnalis surat kabar Rajat pada November 1945.

Miss Daventry juga mengungkapkan rasa muaknya terhadap militer Inggris dan NICA yang menggunakan kedok sekutu untuk mendarat di Surabaya. Kedatangan militer Inggris itu mengakibatkan pertempuran sengit yang tak terhindarkan antara mereka dan warga Surabaya pada 10 November 1945.

“Kemaren kamoe merajakan Thankgiving Day,” ungkap Miss Daventry yang saat itu sebagai warga negara Amerika. “Akoe tak bisa ikoet gembira karena akoe ada di tengah mereka jang dengan darah dan air mata sedang berdjoang mati2-an menontoet rahmat jang soedah kamoe perdapat itoe.”

Baca juga: Operasi Perawat, Misi Gerilyawan Surabaya yang Terlupakan Sejarah

Kawasan Alun-Alun Surabaya, Jawa Timur. Foto karya Piet Voorn dan Rosalina Cornelia Naisahvan. (Tropenmuseum/Wikimedia)

Thankgiving Day merupakan perayaan rasa syukur warga Amerika, dan menjadi libur resmi. Awalnya merupakan bentuk ucapan terima kasih dan syukur atas musim panen pada akhir tahun. Perayaan ini jatuh setiap Kamis keempat di bulan November.

Surat kabar itu juga menulis bahwa Miss Daventry mengisahkan betapa pejuang Republik memiliki rasa sopan santun. Mereka menerima tentara Inggris-India sebagai tamu, demikian ungkapnya.

Namun, “orang Belanda NICA adalah manoesia paling terkoetoek di doenia ini,” ungkapnya. “Waktoe saja bertjakap2 dengan mereka , semoea mereka menghadap2, Inggris akan mena’loekkan negeri ini. Mereka sendiri adalah segerombolan pengetjoet.”

Miss Daventry merupakan salah satu nama pedengan dari Muriel Stuart Walker. Lahir pada Sabtu, 18 Februari 1899 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Dia satu-satunya anak dari pasangan asal Pulau Man, James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Dia juga memiliki darah bangsa Viking yang dikenal pemberani dan gemar petualangan.

Singkat cerita, saat kedatangannya ke Bali pada akhir 1930-an, perempuan itu diangkat anak oleh Raja Bangli. Muriel pun menyandang nama K’tut Tantri, nama resminya hingga akhir hayat.

Selain nama pedengan Miss Daventry, sederet nama pernah menjadi julukannya. Molly McTavish, Modjokerto Molly, Merdeka Moll, Tanchery, Oestermann, Solo Sally, Djokja Josy, Vannine, Vannen, Vanessa, Manx, atau Manxy. Sebagian nama itu memang dipilih atas keinginannya sendiri. Bahkan, orang Bali semasa, kerap mengenangnya dengan sebutan “Nyonya Meng”.