Nationalgeographic.co.id - Peristiwa pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir terbukti meningkatkan tingkat emosi masyarakat seiring dengan polarisasi yang semakin tajam antara kubu Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya, Prabowo Subianto.
Tahun ini dengan semakin meluasnya penggunaan telepon seluler dan media sosial, masyarakat terpapar beragam informasi, palsu maupun valid, yang memicu perasaan cemas, amarah, takut. Hal ini mendorong individu-individu untuk bereaksi dalam beragam cara, dari berceloteh di media sosial hingga terlibat dalam kerusuhan dan menyulut bom molotov.
Baca Juga: Tak Gunakan Peluru Tajam: Kenali Verney-Carron, Pelontar Gas Air Mata yang Jadi Andalan Polisi
Hal ini terjadi pada aksi kerusuhan di beberapa titik di Jakarta yang diduga disulut oleh penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di media sosial.
The Conversation Indonesia melakukan tanya jawab dengan Berry Juliandi, peneliti neurosains dari Institut Pertanian Bogor untuk mengetahui mengapa aksi kerusuhan ini bisa terjadi dari aspek bagaimana otak manusia bekerja ketika menerima (dis)informasi. Dengan memahami cara kerja otak, kita akan lebih menyadari jika tindakan kita didorong oleh emosi yang tidak teregulasi dengan baik.