Suhu Panas Memengaruhi Kesuburan Hewan, Bagaimana dengan Manusia?

By Gita Laras Widyaningrum, Selasa, 11 Juni 2019 | 14:20 WIB
2019 akan menjadi tahun terpanas menurut ilmuwan. (batuhan toker/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id – Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat kesuburan juga bergantung pada hal yang jauh lebih rumit–bahkan di luar kendali.

Meskipun masih dalam tahap awal, sebuah studi yang dipublikasikan pada Journal of Evolutionary Biology menyatakan bahwa spesies hewan tertentu akan semakin sulit bereproduksi jika suhu menjadi lebih ekstrem dari saat ini.

Baca Juga: Kenaikan Air Laut, Kota-kota di AS Ini Akan Tenggelam Pada 2100

Untuk melakukan penelitian tersebut, para ilmuwan mengekspos ngengat pada suhu yang berbeda sampai mereka siap untuk kawin. Semakin tinggi paparan suhu yang didapat oleh ngengat jantan, maka semakin ‘pendek’ sperma mereka–ini dapat mengurangi efektivitas sperma.

Suhu panas juga membuat ngengat jantan dan betina sulit melakukan hubungan seks. Hal ini cukup masuk akal jika dihubungkan dengan anatomi tubuh pejantan.

“Sudah lama diketahui bahwa alasan testis mamalia jantan biasanya berada di luar rongga tubuh adalah karena sperma dapat rusak oleh panas berlebihan dalam tubuh,” kata Graziella Iossa, pemimpin penelitan.

“Namun, sekarang menjadi lebih jelas bahwa ketika mengalami tekanan panas, laki-laki menjadi tidak subur,” imbuhnya.

Tentu saja, akan sulit jika membandingkan ngengat dengan manusia. Bagaimana pun juga, kebanyakan dari kita memiliki kemewahan untuk bersantai di bangunan ber-AC ketika gelombang panas menyerang.

Meski begitu, penelitian lain menyatakan, mungkin memang ada kaitan antar perubahan iklim dengan ketidaksuburan.

Sebuah studi pada 2018 menganalisis lebih dari 80 tahun data kelahiran di AS. Mereka menemukan bahwa suhu tinggi juga memiliki efek negatif yang signifikan terhadap kesuburan dan tingkat kelahiran manusia.

“Jika melihat data sembilan bulan setelah gelombang panas yang terjadi pada Agustus, Anda akan mengetahui bahwa pada bulan Mei, angka kelahirannya lebih sedikit,” kata Alan Barreca, ekonom lingkungan dari UCLA sekaligus pemimpin studi tersebut.

Baca Juga: Es di Himalaya Semakin Mencair, Kehidupan 800 Juta Orang di Asia Terancam