Mengapa Kita Cenderung Emosional Saat Membahas Masalah Politik?

By National Geographic Indonesia, Senin, 17 Juni 2019 | 14:38 WIB
Ilustrasi (SIphotography/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Beberapa bulan terakhir, perbincangan di dunia nyata maupun linimasa diramaikan dengan isu politik. Ini tidak mengherankan mengingat Indonesia baru saja menyelenggarakan Pemilu 2019. Namun, yang menyedihkan, tak jarang perbincangan politik tersebut mengarah ke perseteruan antara dua kubu. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kondisi emosional kita memang mudah dipengaruhi orang lain? Dan mengapa beberapa orang memiliki respons emosional berbeda dalam menanggapi suatu peristiwa, termasuk yang berkaitan dengan isu politik?

Berdasarkan studi yang dilakukan pakar psikologi Stanford University, motivasi seseorang memiliki peran penting dalam bagaimana seseorang merespons suatu kabar, serta bagaimana kabar tersebut memengaruhi emosinya.

Baca Juga: 10 Kebiasaan Simpel Ini Bisa Membantu Kita Cegah Penyakit Mental

Studi menunjukkan, orang yang bersikap tenang dan tidak terlalu peduli pada suatu kabar, tidak mudah terpengaruh oleh kemarahan orang lain. Sementara, orang yang sejak awal merasa gelisah dan tidak puas akan sesuatu, lebih cepat tersulut amarahnya.

Peneliti mengamati, orang yang memiliki keinginan untuk marah akan merasa lebih emosional saat mengetahui orang lain memendam perasaan marah yang sama. Hal ini menciptakan kondisi yang dikenal dengan istilah echo chamber, di mana seseorang yang semula merasa marah hanya fokus mencari sesuatu yang membuatnya lebih emosional untuk membenarkan perasaannya. 

Studi ini dilakukan dengan memeriksa reaksi kemarahan107 partisipan terhadap beberapa kejadian terkait politik yang dapat memicu emosi mereka. Hal ini dilakukan lewat beberapa foto yang dianggap sensitif, seperti foto pembakaran bendera Amerika Serikat dan gambar-gambar skandal penyiksaan tahanan oleh tentara Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib, Irak.

Hasilnya, partisipan yang semula menunjukkan sikap tenang memiliki peluang tiga kali lipat dipengaruhi pendapatnya oleh orang yang juga menunjukkan ekspresi tenang, dibandingkan dengan orang yang emosional.

Sebaliknya, orang yang menunjukkan kegelisahan dan kecemasan cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh orang yang bersikap emosional dibanding orang yang bersikap tenang.

"Kita telah lama mengetahui bahwa orang seringkali mencoba untuk mengatur emosi mereka saat menghadapi permasalahan. Rangkaian studi ini menunjukkan bahwa tiap orang juga dapat mengatur bagaimana sikap mereka saat dipengaruh oleh emosi orang lain," ujar James Gross, profesor psikologi dari School of Humanities and Sciences, Stanford University, dilansir dari Medical Xpress.

Pada studi yang sama, para peneliti mencari tahu bagaimana pengaruh media sosial terhadap emosi seseorang secara langsung. Hal ini dilakukan lewat analisis terhadap berbagai reaksi di media sosial Twitter pasca insiden penembakan Michael Brown di Ferguson, Missouri pada tahun 2014 yang memicu konflik rasial di Amerika Serikat.

Hasilnya, pengguna Twitter akan lebih reaktif terhadap kicauan yang emosional dibanding kicauan yang mencoba mendinginkan suasana. Para pengguna Twitter juga aktif merespon kicauan yang memiliki pendapat yang sama dengan mereka, dan menggunakannya untuk mengamplifikasi emosinya agar lebih menonjol di media sosial, sehingga menciptakan penyebaran opini yang masif.

Selama ini, diasumsikan bahwa emosi seseorang dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya secara otomatis dan tidak sadar. Namun, temuan dari studi ini mengubah pandangan tersebut.

"Emosi kita tidaklah pasif ataupun otomatis. Emosi adalah alat yang dapat kita kendalikan untuk mencapai tujuan tertentu," papar Amit Goldberg, pemimpin studi ini.

"Kita mengekspresikan emosi tertentu untuk meyakinkan orang lain agar ikut serta bergabung bersama kita dan membentuk opini dan gerakan kolektif. Dalam media sosial, kita menggunakan emosi untuk menunjukkan pada orang lain bahwa kita peduli terhadap suatu isu tertentu, dan memberitahukan pada orang-orang bahwa kita tergabung di dalamnya," lanjutnya.

Hal ini dapat menjelaskan mengapa muncul dikotomi simpatisan politik dalam waktu sekitar berlangsungnya Pemilu, yang terus berlanjut hingga kini. Namun, hal ini tidak hanya terbatas pada politik saja, tapi juga pada isu lain seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Baca Juga: Bung Karno Enggan Istilah Silaturahmi, Ulama Pendiri NU Ini Sorongkan Halal Bi Halal

Agar dapat bersikap tenang, objektif, dan tidak mudah terpancing, Goldberg menyarankan agar lebih selektif dalam mengonsumsi berbagai informasi dan memilih lingkungan sosial.

"Nampaknya, cara terbaik untuk mengontrol emosi kita dimulai lewat pemilihan lingkungan yang sehat. Jika anda tidak ingin merasa marah, anda dapat menjauhi orang-orang yang emosional," pungkasnya.