Akibat Adu Mulut Soal Anjing, Gunung Tambora Pecah Menebar Bencana

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 2 Juli 2019 | 14:00 WIB
Temuan di situs arkeologi Tambora yang menjadi bagian cerita “Terbenam Murka Sang Ancala”, National Geographic Indonesia. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

Sebuah kisah sastra dari Makassar bertajuk Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora mengungkapkan peristiwa di balik erupsi megakolosal di Pulau Sumbawa pada 1815. Naskah itu memandang bahwa Kerajaan Tambora lenyap karena murka Tuhan. Raja Tambora, dalam kisah itu, mengingkari ajaran Islam dan dianggap kafir, karena membiarkan anjingnya memasuki masjid.

Bagaimanakah narasi itu tercipta?

Alkisah, seorang pedagang asal Bengkulu yang keturunan Arab, singgah ke Kesultanan Tambora. Tiba di sebuah masjid, dia menghardik dan mengusir seekor anjing yang memasuki bangunan suci itu. Dia menyuruh si penjaga masjid untuk memukul anjing tersebut.

Namun, si penjaga justru marah dan berkilah bahwa anjing tersebut milik sang raja. Mendengar jawaban tersebut, si pedagang pun mencela bahwa Sang Raja Tambora adalah seorang kafir. Celaan itu akhirnya sampai ke telinga Sang Raja, yang membuatnya murka.

Baca juga: Erupsi Tambora Memerahkan Mentari, Pelukis Eropa Menjadi Saksinya

Hujan deras mendera sebuah permukiman di pinggang Tambora, sesaat sebelum gunung itu bererupsi dahsyat. (Sandy Solihin/National Geographic Indonesia)

Sang Raja mengundang pedagang itu untuk menjebaknya dalam siasat santap bersama. Jebakan itu adalah, hidangan daging anjing untuk pihak si pedagang dan hidangan daging kambing untuk pihak Sang Raja. Usai bersantap, si pedagang merasa dijebak. Meski demikian, dia tetap membantah telah menyantapnya. Sang Raja pun berdalih, membantah perkataannya berarti mati. Para prajurit segera meringkus si pedagang dan menggiringnya ke puncak Tambora. Sang pedagang pun tewas dibunuh.

Tatkala para prajurit tengah menuruni pinggang Tambora, gunung tersebut menggelegak dan menggelegar dahsyat. Inilah murka dan azab Tuhan kepada Kerajaan Tambora, demikian ungkap naskah tersebut.

Philippus Pieter Roorda van Eysinga mengisahkan isi naskah tersebut dalam empat halaman pada jilid kedua dari bukunya, Handboek der land- en volkendunde, gescheid-, taal-, aardrijks- en staatkunde van Nederlandsch-Indie. Buku itu terbit beberapa jilid antara 1841-1850 di Amsterdam.

Kisah dari naskah beraksara Arab itu mungkin berhias bunga-bunga drama, demikian menurut Roorda. Namun, pada bagian akhir naskah itu barangkali mencoba melukiskan keadaan sesungguhnya kala Tambora mengamuk.

“...Tambora pun menyala. Sampai berapa-berapa hari menyala api digunung, di negeri, di lautan, di bumi. Maka kelam kabut daripada hujan abu itu... berapa-berapa ribu orang mati terbakar itu.”

Naskah itu juga menerakan tenggelamnya Kerajaan Tambora oleh tsunami air laut. Seluruh hamparan tanah Sumbawa bertabur hujan abu, semua ternak binasa. Selama tiga tahun warga tidak bisa menanam padi, sepuluh ribu orang turut menjadi korbannya, demikian kisah naskah tersebut.