Kisah Para Pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang Bertahan di Trotoar Kebon Sirih

By National Geographic Indonesia, Rabu, 10 Juli 2019 | 10:36 WIB
Sebagian pencari suaka di trotoar Masjid Ar-Rayyan di Jalan Kebun Sirih, Jakarta, 5 Juli 2019. (Ahadian Utama/VOA)

Nationalgeographic.co.id - Puluhan pengungsi dan pencari suaka dari berbagai negara yang dilanda konflik masih bertahan di trotoar Jalan Kebun Sirih bersama keluarganya untuk meminta kejelasan dari Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengenai bantuan hunian sementara.

Hingga Selasa (9/7), sudah lebih dari seminggu, para pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Somalia, menginap di trotoar dan ruang terbuka sekitar Menara Ravindo, tempat UNHCR berkantor. Sebelumnya, mereka menetap di lahan seberang Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Kalideres.

Pada Senin (8/7) pagi, sekitar pukul 9.30 WIB, dua petugas UNHCR yang mengenakan rompi biru berlogo komisi PBB itu sempat mendatangi dan berdialog dengan para pengungsi.

Baca Juga: Agar Tak Ganggu Pekerjaan Setiap Menstruasi, Wanita India Dipaksa Operasi Angkat Rahim

Menurut Ahmad, salah satu pengungsi asal Afghanistan yang ikut berbicara dengan petugas UNHCR, komisi PBB itu meminta para pengungsi untuk kembali ke Kalideres. Namun, para pengungsi menolak karena tak punya pilihan lain setelah lebih dari satu tahun tinggal di sekitar Rudenim tanpa kejelasan, ujar pemuda berusia 21 tahun itu kepada VOA, Senin (8/7).

Nasib mereka makin tak pasti setelah terusir dari lahan tempat mereka selama ini menginap di sekitar Rudenim, tutur Ahmad yang datang ke Indonesia seorang diri lima tahun lalu.

“Mereka bilang kami harus pergi ke tempat asal kami datang, seperti Kalideres atau Bogor,” ujar pria yang fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. “Tapi kami tidak ada tempat. Tenda punya kami sudah dirusak, dibakar oleh RT. Kami mau kemana?,” ujar Ahmad.

“Setiap kali kami datang ke sini (UNHCR), mereka bilang akan ‘kami akan bantu.’ Tapi nggak tahu ini, nggak bantu kami,” tambahnya.

(Ahadian Utama/VOA)

Dari pantauan VOA, para pengungsi bersama anak-anaknya –termasuk beberapa bayi yang berusia beberapa bulan – tidur di trotoar beralaskan tikar, plastik atau sisa karton seadanya.

Beberapa pagar berduri yang diletakkan di kedua sisi pintu masuk dan keluar gedung berubah menjadi jemuran pakaian para pengungsi. Mereka juga menggunakan payung atau membuat tenda seadanya dari sisa plastik untuk melindungi dari terik matahari.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan bantuan donatur, termasuk pemberian beberapa penjual makanan dan minuman yang berada di sekitar trotoar.

(Ahadian Utama/VOA)

Sama halnya dengan Ahmad, Hadroh--perempuan asal Somalia berusia 30 tahun--juga bersikukuh tak mau kembali ke Kalideres sampai diberikan hunian permanen.

“Tidak ada (bantuan). Hanya dari donatur-donatur,” kata Hadroh, yang berbicara melalui penerjemah.

“Berharap dapat tempat tinggal, kontrakan. Di sana (Kalideres) bukan tempat tinggal. Hanya di jalan saja,” ujar ibu yang mengungsi ke Indonesia bersama tiga anak dan suaminya.

Selain itu, dia juga berharap bisa mendapatkan bantuan makanan dan sekolah untuk ketiga anaknya yang berusia 6, 7 dan 10 tahun.

Baca Juga: Memotret Setiap Hari, Salah Satu Cara Menjaga Kesehatan Mental

Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas, dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Luar Negeri, Selasa (9/7) mengatakan UNHCR bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) telah memfasilitasi penempatan mereka di penyewaan rumah-rumah warga.

Selain itu Pemerintah Provinsi DKI juga tengah merencanakan proses pemindahan pengungsi dari depan UNHCR ke tempat penampungan sementara di Kalideres sesuai azas kemanusiaan, tambah Vargas.