Palembang Pernah Memiliki Dua Benteng Kembar. Di Manakah Itu?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 25 Juli 2019 | 19:14 WIB
Benteng Kuto Besak dan Kuto Lamo, terletak di antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Dua benteng kembar itu masih tampak pada peta semasa penaklukkan Inggris pada 1812. (The Conquest of Java, Major William Thorn, 1815)

Pintu gerbang utama Benteng Kuto Besak awal 1900-an, sebelum dibongkar. (Mahandis Yoanata Thamrin)

 

Kapan Benteng Kuto Lama lenyap?Djohan Hanafiah, seorang warga Palembang yang menulis buku Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan; mengungkapkan tentang perseteruan dua benteng kembar Palembang.

Pada akhirnya kedua keraton ini bagaikan air dan minyak, demikian ungkap Djohan. “Pada saat Kuto Besak memancangkan bendera Kesultanan Palembang,” tulisnya, “maka Kuto Lama mengibarkan bendera Inggris.” Perseteruan keluarga itu masih berlanjut tatkala serdadu Hindia Belanda di bawah komando Hendrik Merkus Baron de Kock menyerang pada 1821. Ekspedisi militer itu diakhiri dengan tertangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan dia diasingkan ke Ternate.

Pintu gerbang Benteng Kuto Besak sayap barat. Bangunan ini dibangun selama 17 tahun pada masa Sultan Mahmud Bahauddin. Keraton dan benteng diresmikan pada 1797. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)

 
Lalu, De Kock melantik penerus selanjutnya, Prabu Anom menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV dan ayahnya, Husin Djauddin, sebagai Susuhunan. Sejak peristiwa itu benteng di kuasai Belanda dan “Kuto Lama dibongkar habis sampai pada fondasinya,” tulis Djohan.

Sang adik yang berbadan lebih besar, Benteng Kuto Besak, kini digunakan sebagai Kantor Kesehatan Komando Daerah Militer II/Sriwijaya, rumah sakit, dan permukiman warga nan padat. Pada awal 2014, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan berencana merevitalisasi penanda peradaban ini untuk Pusat Kebudayaan Palembang. Semoga benteng ini menemukan kejayaannya kembali sebagai pencerah sejarah dan budaya di kota yang juga pernah bergelar .

Pintu gerbang Benteng Kuto Besak sayap barat. (Mahandis Yoanata Thamrin)